Tampilkan postingan dengan label performance art. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label performance art. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Januari 2017

TARI DAN MASKULINITAS PENONTON


(Sumber foto: www.malesbanget.com)

Penonton menjadi salah satu unsur penting dalam seni pertunjukan. Reaksi penonton yang sebenarnya lebih sering berdasar atas selera pribadi, kadang-kadang tetap saja menuai kekhawatiran bagi performer. Sebenarnya, kekhawatiran tersebut tidak akan menjadi masalah kecuali ketika sudah terjadi hierarki. Ketika sudah terjadi hierarki antara penonton dan performer, maka independensi performer untuk berkarya akan terganggu dengan ketakutan tidak akan diterima oleh penonton. Seperti layaknya sebuah relasi pacaran misalnya, jika sudah terbentuk hierarki, maka akan ada satu pihak yang lebih dominan dan menguasai, yang kemudian menyulitkan pasangannya untuk berkembang.

Tari, sebagai salah satu bagian dari seni pertunjukan juga terkena imbas dari relasi kuasa yang timpang antara penonton dan pencipta tari. Jika dirunut dari perkembangan tari, mengapa angguk putra sekarang sudah sangat sulit ditemukan atau bahkan sudah bisa dianggap punah? Karena penonton lebih memilih menonton perempuan dibandingkan laki-laki. Secara singkat mungkin dapat diartikan bahwa perempuan (secara fisik) memiliki nilai yang lebih menyenangkan untuk ditonton dibanding laki-laki, kenapa?

Tidak hanya angguk, tetapi di banyak kasus pertunjukan tari perempuan memang dinilai memiliki daya tarik yang lebih dibandingkan laki-laki, kenapa?

Bagi saya secara pribadi, sebenarnya ini juga bukan suatu masalah, hanya saja, jangan sampai kita terjebak pada eksploitasi tubuh perempuan, menjadikan perempuan sebagai objek. Katakanlah tayuban misalnya, yang semula merupakan salah satu media untuk memberi pesan-pesan kebaikan, bahkan pesan agama, kemudian terjerumus ke dalam kuasa penonton, dan akhirinya banyak yang memilih untuk menuruti harapan penonton demi tetap berlangsungnya kehidupan grup tersebut dan anggotanya. Kembali, perempuan menjadi korban atas penonton yang memiliki hierarki lebih tinggi,

Kuasa dan hierarki memang sangat lekat dengan maskulinitas. Tapi maskulinitas ini bukan semata-mata terkait soal penonton kebanyakan adalah laki-laki. Karena maskulinitas tidak melekat pada satu jenis kelamin saja. Maskulinitas penonton kadang menjebak koreografer/performer untuk menuruti selera penonton dan lupa pada apa yang ingin disampaikan. Ini akan semakin meningkatkan kuasa penonton sehingga menambah daftar-daftar karya yang sudah cukup dengan menuruti selera pasar, tentu memang ada karya tari yang diciptakan khusus untuk mengikuti selera pasar, masalahnya adalah jika yang terjebak ke arah itu adalah para kreator yang sejatinya ingin berkarya secara idealis.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa penonton memang tidak bisa dikontrol, tetapi sisi baiknya adalah, kita bisa mengontrol karya kita. Kritik dari para penonton tidak semuanya harus diikuti karena seharusnya dari awal berkarya kreator sudah memiliki tujuan untuk apa nantinya karya tersebut dibuat? Kalau sudah memiliki tujuan berkarya, kita dapat meng-counter ketidaksukaan penonton atas karya kita. Pembuat karya harus memiliki kendali penuh atas karyanya, meskipun tentu saja harus disertai ngobrol dengan banyak orang, meminta pendapat dari yang lebih punya pengetahuan, tapi tetap saja, kemerdekaan memilih adalah milik kreator. Jadi berkaryalah dengan merdeka, tentu harus disertai tanggung jawab.


Nia Agustina
Co-Founder of Paradance Festival
Founder of Project Matematarika







Senin, 02 Januari 2017

Mau Jadi Penari HP atau Pager?

Di postingan sebelumnya, saya memberi catatan untuk acara JIPA 2016. Dalam acara yang bertajuk "Gathering To Sharing" ini, ada sesi diskusi terkait dokumentasi video dari para koreografer baik dalam negeri maupun luar negeri, juga sesi diskusi terkait showcase yang ditampilkan 4 koreografer muda Yogyakarta. 

Dalam sesi diskusi tersebut ada banyak sekali pertanyaan yang muncul dari para peserta dan bahkan juga koreografer. Ada pertanyaan yang selama beberapa hari ini terngiang di benak saya, dan tanpa sengaja saya menemukan jawabannya di diskusi tari komunitas Salihara yang saya tonton via Youtube kemarin sore. Ya, memang Youtube dan Google adalah guru yang paling mudah diakses saat ini, tentu harus disertai filter yang tepat. Diskusi tari Salihara tersebut mengusung tema Tradisi dan Modernitas, sebagai pembicara ada Bapak Sal Murgiyanto dan F.X Widaryanto, yang keduanya adalah pengamat sekaligus kritikus tari.

Salah satu pertanyaan yang mengganggu teman-teman di forum JIPA 2016 adalah terkait style ketubuhan seorang penari. Saya sempat menyimpulkan, semoga kesimpulan saya ini bukan jenis kesimpulan yang serampangan, bahwa keempat penampil showcase di acara JIPA 2016 memiliki selera berkarya yang tidak jauh dari latar belakang mereka. Galih dengan latar belakangnya sebagai penari gaya Yogyakarta, Gusbang yang dari kecil sudah menari Bali dan memang tinggal disana, kemudian Pulung yang tubuhnya seakan-akan mengikuti gravitasi, bergerak dalam level rendah dan hati-hati, memperlihatkan attitudenya sebagai penari gaya Yogyakarta, serta terakhir Citra Pratiwi yang terkesan metropolis seperti tempatnya lahir dan besar, Jakarta.

Kemudian apa hubungannya dengan diskusi yang saya tonton di Youtube? Ada satu kutipan yang pak Sal ambil dari kata-kata Rendra, bahwa hal baru muncul seharusnya karena yang tradisi tidak cukup menampung kebutuhan kita, maka kebaruan harusnya muncul dari suatu tradisi. Maka, style yang diharapkan oleh teman-teman di forum "Gathering to Sharing" JIPA 2016 lalu sebenarnya sangat bisa dan bahkan justru hanya bisa diperoleh dari mendalami tradisi tubuh dan hidup masing-masing selama ini, menemukan berdasarkan pengalaman empiris dan hal-hal kontekstual yang tidak jauh dari diri sendiri. Hal ini tentu harus disertai dengan pengetahuan dan wawasan di luar tubuh yang dapat dicapai dengan melihat semakin banyak pertunjukan, mengikuti berbagai workshop, dan membaca dan mempelajari berbagai pendekatan dan metode penciptaan tari.

Ini sudah terjadi dalam bidang teknologi, yang dekat dengan kita saja, HP misalnya. Dulu di tahun 90an HP hanya dapat digunakan untuk komunikasi via telfon dan sms, kemudian masuk ke tahun 2000an teknologi HP berkembang, HP menambah fitur kamera, internet, musik, dan sebagainya, tapi apakah fitur telfon dan sms dihilangkan? apakah ringtone HP yang lama dihilangkan? tidak, semuanya hanya diperbaharui dan dikembangakan, karena dirasa telfon dan sms sudah tidak cukup mampu menampung kebutuhan pengguna. Berarti HP dengan teknologi terbaru bahkan masih menyimpan teknologi lama, hanya kemudian dikembangkan dan diperbaharui untuk lebih memudahkan pengguna. Apa jadinya jika HP yang diluncurkan kemudian "benar-benar baru"? Tidak ada fitur telfon dan sms, misalnya? Apakah dia masih dapat disebut HP? Masih ingat dengan pager? Kenapa pager tidak lebih langgeng dibanding HP? Karena tidak ada pengembangan teknologi pager, dia ditinggalkan dan kemudian berganti total teknologinya menjadi HP, dan kenapa HP langgeng? Karena dia tidak meninggalkan "tradisinya" tetapi terus mengembangkan tradisi tersebut menjadi semakin canggih dan memudahkan (Setidaknya sampai saat ini).

Jadi mau jadi Penari HP atau pager?  

Nia Agustina
Manajer Program Paradance Festival
Founder of Project Matematarika
niaparadance@gmail.com





Jumat, 30 Desember 2016

CATATAN JIPA 2016: Jogja Imaginary Performing Arts



2016, JIPA berlangsung dengan format tidak seperti biasanya. JIPA yang sebenarnya merupakan akronim dari Jogja International Performing Arts, bertransformasi menjadi Jogja Imaginary Performing Arts. Mungkin hanya tahun ini saja, atau mungkin akan berlanjut ke tahun-tahun berikutnya? Tidak ada yang tahu.

Berkolaborasi antara Jaran Art Space, Mila Art Dance, Sanggar Seni Kinanti Sekar, Ayu Permata Dance Company, Paradance Festival, Kawung Art Culture and Wisdom serta Galih Puspita Dance Grup, kami mencoba membuat JIPA yang kebetulan berada di penghujung tahun menjadi jawaban atas kebutuhan para kreator dan seniman tari muda di Yogyakarta. Kebutuhan semacam apa? tentu saja kami bisa salah duga. Kami rasa Yogyakarta adalah surganya event tari/ wadah tari, tetapi kering edukasi, terutama bagi para kreator dan seniman tari kontemporer. Banyak seniman muda Jogja yang berkarya di ranah tari kontemporer, tapi dinamika kualitasnya masih sangat lamban. Dengan alasan itu, akhirnya JIPA 2016 memutuskan untuk membuat acara yang formatnya kekeluargaan dan hangat yaitu "Gathering to Sharing" yang sudah terjadi pada 27 dan 28 Desember 2016 lalu.

Gathering to Sharing ini menghadirkan 4 penampil showcase yang kemudian didiskusikan dan diberi masukan (karena keempatnya adalah karya onprogress), kemudian ada sesi menonton dan ngobrol-ngobrol terkait 4 video dokumentasi pertunjukan tari: Cloud Gate-Moon Water, Gumarang Sakti-Karya Boy G Sakti untuk FKY 2003, Tao Dance Theatre - <<6>>, dan Anna Teresa de Keersmaeker - Fase. Sesi diskusi dan ngobrol tersebut sebenarnya tidak semata-mata untuk mencari tahu biografi koreografer dan karyanya (karena tidak ada narasumber di forum ini), tetapi lebih kepada membayangkan prosesnya, kemudian mencari celah kegelisahan sekaligus apa yang bisa dilakukan untuk perkembangan tari kontemporer sesuai kebutuhan forum. Jogja Imaginary Performing Arts (JIPA) 2016 ini mencoba memberi ruang bagi para koreografer muda untuk berimajinasi soal bagaimana selanjutnya dia harus berkarya, meningkatkan kualitas, dan kemudian mampu hidup dan terus berkembang dengan karya-karya tersebut.

Tidak ada solusi yang akhirnya diputuskan oleh forum, karena memang forum ini tidak semata-mata untuk mencari solusi. Tetapi berdasarkan hasil diskusi ada beberapa hal yang kami petakan menjadi kegelisahan terbesar bagi para koreografer muda di Jogja khususnya, yang mungkin kemudian berimbas pada kualitas karya.
1) Entertain VS Art for Art
Yang dimaksud disini adalah, para koreografer muda masih belum merasa cukup bisa fokus dalam karya idealis dengan proses panjang, karena terkait ekonomi. Memiliki latar belakang pendidikan tari, tentu para koreografer muda tersebut memiliki lahan pekerjaan dalam bidang pertunjukan yang sifatnya entertain, ditambah dengan desakan ekonomi yang memang harus terus berputar, para koreografer muda tidak memiliki cukup waktu dan bahkan dana untuk berproses dengan riset artistik yang benar, proses panjang, kemudian dipentaskan atas nama grup pribadi.
2) Continuitas
Ini masih terkait dengan persoalan nomer 1), keadaan tersebut memang kemudian berpengaruh terhadap continuitas latihan dan proses pencarian. Karena memang kondisinya di Indonesia demikian, belum cukup banyak dance grup/ dance company yang mapan secara ekonomi jika tidak ditunjang dengan karya di ranah entertain.
3) Mencapai kualitas untuk Festival
Ini menjadi satu masalah juga yang terlontar dari para koreografer muda dalam forum tersebut. Mengapa tidak banyak koreografer muda di Jogja yang dapat menembus festival tari terutama yang memiliki sistem kuratorial. Ada beberapa hal selain kualitas karya yang kemudian mempengaruhi ini, salah satunya adalah para koreografer muda masih jarang berkarya dalam ranah Art for Art kecuali ketika tugas koreografi di kampus, kemudian tidak banyak koreografer muda yang menyebarkan karyanya dalam bentuk video di youtube atau vimeo misalnya. Hal ini terkait jarak antara Jogja dengan kota-kota yang mengadakan festival kelas satu di Indonesia maupun di luar negeri memang cukup jauh, akan sulit kita ditemukan tanpa berusaha eksis. Salah satu usaha untuk eksis (dalam berkarya) adalah dengan menunjukkan karya-karya kita di berbagai media sosial terutama dalam bentuk dokumentasi video, yang memungkinkan untuk dilihat oleh orang lain dalam jarak jauh.
4) Audience
Kegelisahan soal audience menjadi perbincangan yang cukup menarik dalam forum ini, banyak teman-teman yang risau bagaimana kemudian tari yang berbicara lewat tubuh dapat membuat penonton mengerti tentang apa yang disampaikan.
5) Riset Artistik
Riset artistik menjadi bahasan yang menarik, karena sebagian besar dari koreografer muda memang merasa membutuhkan wacana mengenai hal ini. Banyak yang kemudian mengetahui teorinya, tetapi ketika berpraktek terkkait riset artistik mereka merasa gagap dan tidak menemukan banyak hal. Jadi, workshop soal riset artistik menjadi salah satu kebutuhan yang dilontarkan oleh partisipan dalam forum tersebut.
6) Wacana VS Tekhnik
2 hal ini memang tidak pernah ada habisnya, pertanyaannya kemudian, mengapa 2 hal ini tidak saling melengkapi saja dalam berkarya? Bahkan, tekhnik tari sendiri bisa menjadi wacana tanpa ada isu.
7) Kedalaman karya
Kedalaman karya ini kemudian terkait dengar riset artistik yang tadi telah dijelaskan sebelumnya. Banyak koreografer muda, juga teman-teman yang menjadi penampil showcase merasa punya ide soal karya, tapi ketika karya sudah jadi masih kurang dalam, hanya permukaan saja.

Dari hasil-hasil pemetaan tersebut, mungkin akan ada follow up dengn format lain, yang diharapkan dapat membantu kita menjawab masalah-masalah ini secara kontekstual dan reflektif, berdasarkan pengalaman dan budaya yang sudah terbentuk di lingkungan kita, para koreografer muda khususnya di Yogyakarta.


Nia Agustina
Manajer Program Paradance Festival
Founder of Project Matematarika
niaparadance@gmail.com

Sabtu, 08 Oktober 2016

AYU PERMATASARI’S FEMINISM IN HAH



(Ayu Permatasari)

The sound of breath and sigh heard, even before the dancers entering the stage, brought the audience to seek and wonder: what, who, what is it. A few minutes later, 8 female dancers with white costumes came into the spotlight and dance, still with their audible breaths and sighs exaggerated into expressions of fear/shock, the sound one makes when eating a food that is too spicy, the sound of a mother giving birth, the sound of people marching, etc.  Sound and movement are the show’s strongest attributes, as Ayu Permatasari manages to somehow create a beautiful arrangement out of the seemingly inharmonious sounds coming from the dancers. No dancer was weaker than the other one, as their movements, just as Ayu’s previous works, show great energy, power and shapes that are just as strong.


There is no doubt that Ayu Permatasari is indeed one of the choreographers that possess a strong, hard and disciplined attitudes. Yet, her works are always able to generate a sense of innocence, despite actually having a deeper meaning that relates to her life journey; and HAH is no exception.
When creating HAH, Ayu was inspired by the sound of breath that we hear every day, but more specifically, she was subconsciously inspired by the breath of Kotabumi, Lampung, where she was born and raised as a woman. The main theme of HAH, therefore, is the representation of the story and experience of a woman named Ayu Permatasari, which, in a sense, can be interpreted as Ayu Permatasari’s idea of feminism. Certainly, the feminism theme does not only concern the fact that Ayu is a woman, but talking about feminism means talking about women; which means that Ayu’s feminism concerns very much with her experience as a woman.

Back in her hometown, Ayu was raised by a strict and rough father who “worked” as the local thug. Her memories with her father are sometimes revealed in many of her works, including HAH.  The way she was raised, in addition to the town’s background of being dominated by tough women (according to her), affects Ayu’s thoughts on the different ideas of what it means to be a woman.
The whole work of HAH may seem innocent with the form and combination of movement patterns and sound inspired by breath, but more than that, in each movement, the breath can sound firm, strong, tough, and hard, yet other times it can be subtle, supple, and sexy. These impressions represent the definition of a woman to Ayu. Women can be strong, but at times, they can be soft, supple, and fragile. Their strength, toughness, and vigor do not mean that they want to compete with men; instead, they show willingness to be their own self, to pursue their own desire, without deserting their womanly experience and story.  
Strong into subtle, soft to hard, and supple to tough; all becomes harmony in the body of a woman as portrayed in HAH. It’s not just a breath of air, it’s the breath of women, it’s the breath of Ayu Permatasari’s history, and it is HAH.


Author: Nia Agustina
Translator: Eka Wahyuni 
If you have any information about photographer's name who takes all of picture above, you can contact me at 08562571022 (WA/Line only)

Sabtu, 12 Desember 2015

KONSTRUKSI DALAM MELINTAS

Melintas, Menyudutkan yang Tak Tersudut. Itulah judul peristiwa tari pada tanggal 11 November 2015 yang dimulai pukul 19.30 di gedung PKKH UGM. Dalam acara yang diinisiasi oleh IDF dan tentunya PKKH UGM ini, terdapat 3 karya yang disajikan. karya berjudul “Pintu Menusia” karya Ari Ersandi, “Touch” karya Hanny Herlina, dan “Layang-layang” karya Bagong Kussuadiardja.

Saya akan mereview karya-karya berdasarkan keseluruhan atau kesatuan utuh peristiwa, sehingga dengan sendirinya setiap karya akan terbahas secara alami. Melintas, Menyudutkan yang Tak Tersudut, judul yang menarik dan cukup menggelitik, mengapa? Sebelumnya saya akan memberikan sedikit kesan saya ketika menonton peristiwa ini. Saya benar-benar menemukan kesan yang ajaib, ketika melihat  ketiga karya tersebut memiliki kesatuan yang pastinya tidak disengaja, karena mereka berproses masing-masing. Kesatuan tersebut bernama KONSTRUKSI.

Kemudian ada pertanyaan lagi, kenapa bisa konstruksi? Apa alasannya? Akan saya bahas satu persatu. Karya pertama, berjudul “Pintu Menusia” dengan koreografer dan sekaligus menjadi penarinya adalah Ari Ersandi. Ari Ersandi sempat menjelaskan bahwa karyanya tidak berbicara tentang satu alur cerita, tetapi hanya tubuh tari. Bisa diterima, tapi bagi saya lebih dari itu, Ari mencoba menyajikan suatu konstruksi  tubuh tari Ari bagi para penari yang ketubuhannya tentu tidak sama dengan Ari. Terlihat pada bagian pertama ada beberapa gerakan yang cukup sering digunakan dalam tubuh Ari, kemudian ditransfer ke dalam tubuh-tubuh yang bukan Ari. Tidak akan sama memang, bahkan unik, karena dengan gerakan yang sama memiliki impact visual maupun rasa yang berbeda. Dari sini terlihat bahwa Ari memberikan kesempatan bagi para penarinya untuk merekonstruksi tubuh Ari ke dalam dirinya dengan berbagai “kecacatan” yang justru menjadi keberagaman tubuh tari yang tak terduga dan bahkan menjadi kekuatan penting dalam pementasan ini. Pada bagian tengah Ari menari solo. Saya merasakan hal yang sama seperti yang MC katakan pada saat itu, saya tidak melihat Ari Ersandi yang selama ini saya kenal, yang saya lihat adalah Ari Ersandi sedang mencoba membuat pondasi kepingan-kepingan tubuhnya yang baru, meskipun masih ada tubuh lama yang tertinggal. Kembali ke pembahasan sebelumnya, Ari sedang membangun konstruksi baru pada tubuhnya.


Anter Asmorotedjo. Anter, merekonstruksi karya ‘Layang-layang’, menyusun ulang serpihan-serpihan bangunan karya Bagong Kussuadiardja melalui tubuhnya. Ini sangat menarik, karena rekonstruksi semacam ini tidak mudah untuk dilakukan. Butuh data-data yang kuat supaya tidak terjadi kesalahpahaman sejarah maupun makna. Tanggung jawab Anter menjadi besar dalam hal ini, karena dia tidak hanya bertanggung jawab atas karya seperti layaknya ketika dia membuat koreografinya sendiri, tetapi dia juga bertanggung jawab atas sejarah. Seperti rekonstruksi ulang candi, bangunan keraton yang sudah runtuh, dan sebagainya, Anter merupakan peneliti, sekaligus arsitek, sekaligus pelaku pembangunan. Tapi tubuh selalu lebuh sulit, karna dia dinamis dan tidak bisa sama persis dari detik ke detik, sedangkan bangunan dia berbentuk tetap dalam waktu yang panjang.

Kedinamisan tubuh juga saya lihat dari karya oleh penampil terakhir, yaitu Hanny Herlina dengan karyanya berjudul ‘Touch’. Meskipun Hanny bercerita bahwa karya ini berpijak pada sentuhan musik, tapi bagi saya Hanny secara sadar maupun tidak, tengah menceritakan bagaimana tubuhnya menjadi konstruksi tubuh yang sekarang. Dia menghadirkan rigging (jika salah tolong koreksi), benda ni sangat lekat kaitannya dengan bangunan dan konstruksi. Hanny menari dengan mata tertutup sembari mencoba berjalan keluar rigging. Dalam proses tersebut, terlihat tubuh Hanny bergerak dengan beberapa tubuh tari, tapi yang terlihat jelas adalah tari Topeng dan Balet. Saya melihat Hanny, dengan sengaja atau tidak, menceritakan, bagaimana proses tubuhnya menjadi konstruksi sekarang. Tubuh Hanny menjadi seperti saat ini karena ‘sentuhan’ dan proses penyusunan sentuhan-sentuhan tersebut menjadi sebuah konstruksi. Walupun pada saat Hanny keluar dari rigging justru saya melihat ‘disorientasi tubuh’ yang sebenarnya merupakan pertanda bahwa pada titik tertentu, konstruksi tubuh Hanny belum menjadi sebuah gedung bertingkat tetapi dua buah gedung, yang pada akhir babak, terjadi proses konstruksi yang menarik, Hanny tidak memindahkan salah satu gedung tubuhnya ke atas gedung yang lain, tetapi membuat sebuah lorong bawah tanah untuk membuat kedua gedung tersebut terkoneksi. Hal ini membuat Hanny dapat berpindah dengan mudah ke gedung pertama dan kedua tanpa harus keluar dari kesatuan konstruksi gedung tersebut.

Disengaja maupun tidak, saya merasakan ketiga karya tersebut memiliki kesatuan kejadian yaitu KONSTRUKSI. Menarik, membaca judul peristiwa ini yaitu Melintas, Menyudutkan yang Tak Tersudut yang sepertinya tidak sesuai dengan Konstruksi, tetapi sebenarnya, melintas merupakan bagian dari sebuah konstruksi. Ketika kita melintas pada suatu benda, orang lain atau apapun itu, pada saat-saat tertentu kita akan menemukan suatu hal yang akan menjadi konstruksi diri kita. Misalnya, kita melintas pada rumah yang berpagar tinggi, sampai-sampai kita melihat tamu yang datang sulit untuk masuk, dalam hati kita merutuk dan kemudian berjanji tidak akan membangun rumah dengan pagar semacam itu, maka melintas di depan rumah yang berpagar, membuat pikiran atau hati kita melintas juga pada suatu prinsip yang menjadi salah satu konstruksi diri kita. Mungkin melintas yang dimaksud disini merupakan gambaran dan harapan supaya tubuh-tubuh penari ini selalu melintas dan kemudian tersudut pada pikiran dan hati penonton, terus menerus, sehingga menjadi salah satu serpihan konstruksi bagi tubuh, hati dan pikiran penonton.
           
Nia Agustina
Paradance Jogja – Project Matematarika
12/11/2015


Foto By: PAMOR DIMENSI IMAGING

Rabu, 01 April 2015

CATATAN: Jadi Seniman itu Mudah???

Catatan ini merupakan sebuah refleksi bagi diri saya sendiri yang pada dasarnya bukan seniman tetapi saya mencintai dunia kesenian. Beberapa tahun terakhir ini, memang saya tidak lepas dari dunia kesenian yang lebih serius. Bukan hanya karena saya bersama mas Ahmad Jalidu menggelar acara yang kami beri tajuk Paradance, tetapi juga karena dari kecil memang saya suka menari walaupun pada saat beranjak dewasa saya memilih pendidikan di luar tari. Tetapi apapun itu cinta memang tidak pernah bohong, karena dia akan kembali pada tempatnya (ehemmm...).

Bermula dari situ, banyak kejadian yang saya alami dan saya lihat. Banyak sekali seniman bagus yang saya jadikan inspirasi, bukan hanya karena menari bagus tetapi lebih kepada konten-konten yang mereka suguhkan. Sampai kadang-kadang saya geleng-geleng kepala, bagaimana mereka bisa mengambil tema tersebut dan mengolahnya sedemikina rupa sehingga keindahannya sampai dan isinya juga tidak terbengkalai. 


Maka, saya pelajari bagaimana proses penciptaan dari banyak orang, baik penari, perupa, seniman teater dan sebagainya. Pada kesimpulan akhirnya saya menemukan sebuah kewajiban bagi para seniman yaitu menjadi ORANG YANG SERBA TAHU. Tapi bukan sekedar sok tahu, seorang seniman harus mempelajari banyak bidang untuk menghasilkan karya seni yang ber-isi. Selain teknik yang harus ditingkatkan, maka pengetahuan umumpun perlu ditambah. Misalnya, creator yang akan menyuguhkan sebuah cerita yang diamblid dari sebuah dongeng misalnya Bawang Merah dan Bawang Putih, mereka harus belajar setidaknya cerita tersebut dari karya sastra, kemudian untuk melengkapinya creator harus belajar mengenai filosofi untuk menambah kedalaman tentang makna-makna dibalik kejadian dalam dongeng tersebut. Masih ada lagi sebenarnya yang mungkin juga merupakan pengetahuan yang penting untuk ditambahkan, yaitu ilmu Biologi, bagaimana sifat Bawang Merah dan Bawang Putih secara biologis, bagaimana mereka hidup, apa persamaan dan perbedaan sifat pertumbuhan dan sifat buahnya. Saya yakin hal ini akan mempengaruhi karakter tokoh yang akan dibawakan, setidaknya menambah referensi. Tidak sekedar Bawang Putih baik dan Bawang Merah jahat. 

Mengapa harus demikian? Tanggung jawab sebagai seniman memang tidak kalah beratnya dengan profesi lain. Seniman merupakan agen hiburan sekaligus agen refleksi. Hal ini sudah terjadi sekian lama, misalnya pada tari Serimpi Kandha yang mengandung sebuah pesan mengenai larangan pernikahan endogami  (perkawinan sedarah). Dari karya tersebut maka jika creator ditanya mengapa membuat karya tersebut dan dari mana mengetahui mengenai tidak baiknya pernikahan endogami bukan hanya dari sisi sopan santun tetapi juga dari sisi kedokteran/ kesehatan, maka creator harus dapat menjawab karena dia yang menyampaikan. Selain ini, misalnya dari cerita bawang merah dan bawang putih di atas, cerita bawang merah dan bawang putih juga banyak menyampaikan pesan kehidupan yang bisa jadi cerminan kehidupan dari salah satu maupun banyak penikmat yang lain, maka selain bertugas menyampaikan sesuai isi cerita yang sudah beredar, kajian ilmiahpun patut disampaikan supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan kesalahan tesis maupun hipotesis dalam interpretasi sebuah cerita.

Dari penjelasan di atas, sudah dapat dilihat, begitu banyak tugas belajar seniman sebelum memulai sebuah karya, maka tidak dipungkiri seniman yang berhasil kebanyakan adalah seniman yang cerdas dan mau belajar serta berwawasan luas selain ditunjang dengan performa yang luar biasa. Ketika akan menggambarkan kehidupan guru, harus belajar menjadi guru, ketika menggambarkan seorang dokter harus menjadi seorang dokter, jadi, masih ada yang mau bilang jadi seniman itu mudah?