Tampilkan postingan dengan label seniman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seniman. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 September 2017

RESIDENSI: KEBUTUHAN SAYA ATAU MASYARAKAT?

Suhu udara panas khas daerah pesisir mulai terasa ketika saya memasuki wilayah Pemenang, Lombok Utara, pertanda perjalanan baru akan dimulai.  Perjalanan ini memang bukan exactly “sebuah perjalanan”, tetapi residensi dalam rangka Bangsal Manggawe 2017 yang diinisiasi oleh teman-teman Yayasan Pasir Putih. Sebelum bertolak ke Lombok saya sempat bertemu dengan salah satu kurator, MG Pringgotono. Dalam diskusi sebelum keberangkatan, saya diberi gambaran soal wilayah dimana tempat saya tinggal selama residensi dan kemungkinan karya seperti apa yang bisa saya kerjakan bersama dengan masyarakat. Meskipun gambaran soal residensi dan kemungkinan karya yang bisa dikerjakan sudah sangat jelas, tetapi saya memilih mengosongkan gambaran-gambaran tersebut, kenapa? Karena saya percaya bahwa residensi selalu membawa seorang seniman kepada hal-hal yang totally baru, bahwa residensi adalah waktu yang tepat bagi seseorang untuk mengasah hati dan pikirannya untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan wilayah residensinya, bahwa residensi adalah waktunya seorang seniman diuji kerendah hatiannya.
Seminggu pertama saya berada di dusun Budha Tebango, Pemenang, Lombok Utara (dusun Budha dengan 100% masyarakat lokal, bukan chinesse), benar-benar saya manfaatkan untuk berkeliling saja dan berbincang dengan tokoh-tokoh Pemenang. Dari perjalanan dengan beberapa tokoh tersebut akhirnya saya memutuskan membuat 2 buah karya, Warung Dongeng dan Tari Mempolong. Warung Dongeng adalah sebuah proyek penelusuran babad 3 kampung di Pemenang, Karang Kauhan (Kampung Hindu), Karang Pangsor (Kampung Muslim), dan Tebango (Kampung Buddha). Konon 3 kampung tersebutlah yang paling memiliki pengaruh terhadap berdirinya Pemenang. Yang kedua, tari Mempolong (mempolong berarti bersaudara), tari ini diharapkan akan menjadi salah satu symbol bagi toleransi, persatuan dan kebhinekaan di Pemenang. Ya, soal karya ini tidak akan saya jelaskan panjang lebar, karena saya sendiri tidak yakin apakah karya ini benar-benar bermanfaat untuk Pemenang? Apakah setelah ini mereka akan lebih bersatu setelah mengikuti sesi Warung Dongeng dan melihat tari Mempolong? Dimana letak fungsi karya dan proses saya dalam residensi ini? Apakah masyarakat Pemenang memang membutuhkan saya dan karya saya?
Pertanyaan-pertanyaan itu juga kemudian yang mengawali refleksi saya atas perjalanan residensi ini. Saya bertahun-tahun hidup di pusat kota Jogja yang meskipun ramai dan berbudaya tetapi mulai terkesan individualis, kapitalis, dan hedonis, ditambah setahun terakhir saya hidup di kompleks perumahan yang menambah insting individualis, kapitalis, dan hedonis tumbuh dengan sangat baik. Selain berkarya, selama 3 minggu masa residensi, saya mengikuti aktivitas masyarakat Tebango, terutama ibu residen yang memberi tempat tinggal kepada saya. Sebelum aktivitas berkarya yang biasanya di sore sampai malam hari, pagi sampai siangnya saya ikut berbelanja ke pasar, berbelanja ke “warung tetangga” karena di Pemenang tidak ada minimarket franchise seperti yang bertebaran di Jogja, memasak, ngobrol dengan ibu dan tetangga, juga ikut bergotong royong membangun Vihara. Bisa dibayangkan, betapa canggungnya saya berada dalam kondisi demikian, harus beramah tamah dengan warga masyarakat, kemudian harus membeli segala sesuatunya di pasar dan “warung tetangga” yang tidak bisa asal comot barang, bayar, dan ngeloyor pergi tanpa mempedulikan penjualnya, harus ngobrol dengan warga masyarakat dan makan bersama dengan mereka selama gotong royong pembangunan VIhara. Beruntung sekali, ibu residen dan masyarakat Tebango sangat terbuka terhadap orang baru, saya merasa mendapatkan treatmen untuk mengasah kembali insting sosial, menekan keinginan hura-hura saya serta melupakan mall, Indomaret, dan Alfamart.

Hal lain, selama 2 tahun belakangan saya ikut tergabung menjadi relawan kesetaraan gender dan anti kekerasan terhadap perempuan di salah satu LSM di Jogja. Mau tidak mau untuk menunjang aktivitas tersebut, saya harus belajar soal feminisme dan terjun langsung menjadi aktivis kesetaraan, juga ikut berjuang membela hak sebagai perempuan. Terkesan heroik! Memang! Tapi itu semua seperti tidak cukup berarti ketika saya mulai ngobrol serius dengan ibu residen. Suatu hari sehabis makan, kami berbincang, ibu residen menanyakan soal pernikahan saya, dan cerita dimulai. Penasaran juga dengan kehidupan pernikahan ibu residen, saya akhirnya menagih cerita. Cerita bergulir dan jiwa aktivis saya mulai melempem. Ibu residen sama sekali belum pernah belajar feminisme dan kesetaraan gender (saya sudah mengkonfirmasi langsung kepada beliau), tetapi dari prinsip-prinsip hidupnya dia adalah salah satu sosok perempuan yang menerapkan ilmu feminis dan kesetaraan dengan sangat baik. Sedikit gambaran, ibu residen adalah seorang ibu rumah tangga biasa, punya toko kelontong di depan rumah tapi tidak terlalu serius. Dia adalah sosok yang hampir tidak punya rasa marah, tetapi jiwanya sangat kuat, sampai bapak residen mengakui bahwa kekuatan di rumah ini berasal dari ibu, bukan bapak. Dia bukannya tidak mau bekerja di luar rumah, tapi dia memilih secara sadar untuk menjadi ibu rumah tangga. Dia memiliki statement bahwa ibu adalah sosok terkuat di dalam rumah, bukan bapak. Ibulah yang menopang keluarga, bukan bapak. Bapak di dalam rumahnya hanya menopang ekonomi keluarga saja, lebih berat yang mana? Tanyanya. Dalam terminology kehidupan tidak ada bapak bumi yang ada ibu bumi. maka yang menopang bumi, yang menopang dunia adalah ibu, bukan bapak. Maka, tidak perlu menanyakan kesetaraan, kita sebagai perempuan sudah jelas-jelas memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan laki-laki dalam hal ini. Saya kembali tersadarkan, hampir dalam sebulan sekali saya melakukan fasilitasi soal kesetaraan gender di salah satu desa di Kulon Progo, Yogyakarta, tapi disana saya selalu berlaku sebagai orang yang lebih tahu soal kesetaraan dibandingkan peserta. Hari itu, di suatu dusun kecil Tebango, Pemenang, Lombok Utara, saya harus mengakui bahwa saya harus belajar lagi dari masyarakat, dan belajar menjadi rendah hati atas ilmu-ilmu yang sudah saya pelajari di masa lalu.




Belum selesai sampai disitu. Selama residensi saya sangat membutuhkan bantuan banyak pihak, mencari berbagai perlengkapan dan pergi kesana kemari. Pada awalnya tidak terbayang bagaimana saya akan pergi, bagaimana saya mencari perlengkapan untuk karya saya, dan bagaimana membawa segala sesuatu kesana kemari. Tapi tanpa saya minta semua orang di sekitar saya tinggal selama residensi, sangat membantu, di sela-sela kesibukan mereka sekolah dan beberapa bekerja, mereka meluangkan waktu untuk membantu keperluan saya. Suatu hari saya bertanya, kenapa mereka mau membantu bahkan ikut menanyakan kebutuhan-kebutuhan saya? Jawabannya beragam, tapi intinya sama, ajaran Buddha adalah cinta kasih, jadi kita harus mengasihi siapapun, menolong siapapun, berbuat baik kepada siapapun tanpa memandang dia berasal darimana. Meskipun saya sendiri sudah tahu sejak lama soal ajaran Buddha tersebut, tapi yang mengherankan adalah semua orang yang saya temui di dusun Tebango menerapkan ajaran tersebut dengan sangat baik, saya tidak melebih-lebihkan, memang semua orang disana sangat penuh cinta kasih kepada sesama, dari anak kecil hingga orang dewasa, bahkan orang tua. Ibu residen akhirnya menyempatkan untuk menunjukkan beberapa kutipan kitab yang ditulis di papan-papan dan di pasang di pepohonan sekitar vihara, beberapa tulisan disana antara lain: “Pikiran adalah pelopor, pemimpin dan pembentuk dari segala sesuatu”, “Kebahagiaan mengikuti ucapan, perbuatan, dan pikiran yang baik”, “ Bagai hujan tidak dapat menembus atap rumah baik, nafsu tidak dapat menembus pikiran yang baik”, “Sesungguhnya mereka yang bertengkar akan binasa, mereka yang sadar akan mengakhiri pertengkaran”, dan masih ada beberapa lagi yang tidak sempat saya dokumentasikan. Ajaran-ajaran Buddha seperti beberapa yang saya tuliskan memang tidak ada yang membicarakan persoalan langit, segalanya soal cara menghadapi hidup di bumi dengan baik, itulah alasan yang kemudian membuat umat Buddha lebih mudah menerapkan ajaran Buddha, tidak rumit, semuanya tentang hidup sehari-hari. Begitupun soal cinta kasih, ibu residen menjelaskan, ajaran Buddha soal cinta kasih tidak menjanjikan surga, hanya ada petunjuk jika hidup dengan cinta kasih, maka kehidupan di bumi akan lebih baik. Agama bukan sekedar jalan menuju surga, tapi agama adalah cara hidup yang baik, agama apapun, sambung ibu residen. Dari situ entah kenapa saya menjadi lebih mencintai agama saya, Islam, sembari bertanya-tanya, kenapa kecintaan saya terhadap Islam justru muncul dari perbincangan saya dengan umat Buddha?

Dari pengalaman-pengalaman itu, saya merasa karya saya tidak berarti apa-apa, selama seminggu sepulang saya dari Lombok sampai saya menulis tulisan ini, setiap hari saya merefleksikan hasil residensi saya. Ternyata sayalah yang mendapat lebih banyak pelajaran dari masyarakat, sedangkan mereka? Ya, saya lebih butuh bertemu mereka untuk memperbaiki kehidupan saya, meningkatkan sensitifitas saya, dan belum tentu mereka butuh bertemu saya dan karya saya, mungkin karya saya hanya sebuah perayaan, bukan esensi seperti selayaknya yang mereka sudah berikan kepada saya.



Kamis, 12 Januari 2017

TARI DAN MASKULINITAS PENONTON


(Sumber foto: www.malesbanget.com)

Penonton menjadi salah satu unsur penting dalam seni pertunjukan. Reaksi penonton yang sebenarnya lebih sering berdasar atas selera pribadi, kadang-kadang tetap saja menuai kekhawatiran bagi performer. Sebenarnya, kekhawatiran tersebut tidak akan menjadi masalah kecuali ketika sudah terjadi hierarki. Ketika sudah terjadi hierarki antara penonton dan performer, maka independensi performer untuk berkarya akan terganggu dengan ketakutan tidak akan diterima oleh penonton. Seperti layaknya sebuah relasi pacaran misalnya, jika sudah terbentuk hierarki, maka akan ada satu pihak yang lebih dominan dan menguasai, yang kemudian menyulitkan pasangannya untuk berkembang.

Tari, sebagai salah satu bagian dari seni pertunjukan juga terkena imbas dari relasi kuasa yang timpang antara penonton dan pencipta tari. Jika dirunut dari perkembangan tari, mengapa angguk putra sekarang sudah sangat sulit ditemukan atau bahkan sudah bisa dianggap punah? Karena penonton lebih memilih menonton perempuan dibandingkan laki-laki. Secara singkat mungkin dapat diartikan bahwa perempuan (secara fisik) memiliki nilai yang lebih menyenangkan untuk ditonton dibanding laki-laki, kenapa?

Tidak hanya angguk, tetapi di banyak kasus pertunjukan tari perempuan memang dinilai memiliki daya tarik yang lebih dibandingkan laki-laki, kenapa?

Bagi saya secara pribadi, sebenarnya ini juga bukan suatu masalah, hanya saja, jangan sampai kita terjebak pada eksploitasi tubuh perempuan, menjadikan perempuan sebagai objek. Katakanlah tayuban misalnya, yang semula merupakan salah satu media untuk memberi pesan-pesan kebaikan, bahkan pesan agama, kemudian terjerumus ke dalam kuasa penonton, dan akhirinya banyak yang memilih untuk menuruti harapan penonton demi tetap berlangsungnya kehidupan grup tersebut dan anggotanya. Kembali, perempuan menjadi korban atas penonton yang memiliki hierarki lebih tinggi,

Kuasa dan hierarki memang sangat lekat dengan maskulinitas. Tapi maskulinitas ini bukan semata-mata terkait soal penonton kebanyakan adalah laki-laki. Karena maskulinitas tidak melekat pada satu jenis kelamin saja. Maskulinitas penonton kadang menjebak koreografer/performer untuk menuruti selera penonton dan lupa pada apa yang ingin disampaikan. Ini akan semakin meningkatkan kuasa penonton sehingga menambah daftar-daftar karya yang sudah cukup dengan menuruti selera pasar, tentu memang ada karya tari yang diciptakan khusus untuk mengikuti selera pasar, masalahnya adalah jika yang terjebak ke arah itu adalah para kreator yang sejatinya ingin berkarya secara idealis.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa penonton memang tidak bisa dikontrol, tetapi sisi baiknya adalah, kita bisa mengontrol karya kita. Kritik dari para penonton tidak semuanya harus diikuti karena seharusnya dari awal berkarya kreator sudah memiliki tujuan untuk apa nantinya karya tersebut dibuat? Kalau sudah memiliki tujuan berkarya, kita dapat meng-counter ketidaksukaan penonton atas karya kita. Pembuat karya harus memiliki kendali penuh atas karyanya, meskipun tentu saja harus disertai ngobrol dengan banyak orang, meminta pendapat dari yang lebih punya pengetahuan, tapi tetap saja, kemerdekaan memilih adalah milik kreator. Jadi berkaryalah dengan merdeka, tentu harus disertai tanggung jawab.


Nia Agustina
Co-Founder of Paradance Festival
Founder of Project Matematarika







Rabu, 01 April 2015

CATATAN: Jadi Seniman itu Mudah???

Catatan ini merupakan sebuah refleksi bagi diri saya sendiri yang pada dasarnya bukan seniman tetapi saya mencintai dunia kesenian. Beberapa tahun terakhir ini, memang saya tidak lepas dari dunia kesenian yang lebih serius. Bukan hanya karena saya bersama mas Ahmad Jalidu menggelar acara yang kami beri tajuk Paradance, tetapi juga karena dari kecil memang saya suka menari walaupun pada saat beranjak dewasa saya memilih pendidikan di luar tari. Tetapi apapun itu cinta memang tidak pernah bohong, karena dia akan kembali pada tempatnya (ehemmm...).

Bermula dari situ, banyak kejadian yang saya alami dan saya lihat. Banyak sekali seniman bagus yang saya jadikan inspirasi, bukan hanya karena menari bagus tetapi lebih kepada konten-konten yang mereka suguhkan. Sampai kadang-kadang saya geleng-geleng kepala, bagaimana mereka bisa mengambil tema tersebut dan mengolahnya sedemikina rupa sehingga keindahannya sampai dan isinya juga tidak terbengkalai. 


Maka, saya pelajari bagaimana proses penciptaan dari banyak orang, baik penari, perupa, seniman teater dan sebagainya. Pada kesimpulan akhirnya saya menemukan sebuah kewajiban bagi para seniman yaitu menjadi ORANG YANG SERBA TAHU. Tapi bukan sekedar sok tahu, seorang seniman harus mempelajari banyak bidang untuk menghasilkan karya seni yang ber-isi. Selain teknik yang harus ditingkatkan, maka pengetahuan umumpun perlu ditambah. Misalnya, creator yang akan menyuguhkan sebuah cerita yang diamblid dari sebuah dongeng misalnya Bawang Merah dan Bawang Putih, mereka harus belajar setidaknya cerita tersebut dari karya sastra, kemudian untuk melengkapinya creator harus belajar mengenai filosofi untuk menambah kedalaman tentang makna-makna dibalik kejadian dalam dongeng tersebut. Masih ada lagi sebenarnya yang mungkin juga merupakan pengetahuan yang penting untuk ditambahkan, yaitu ilmu Biologi, bagaimana sifat Bawang Merah dan Bawang Putih secara biologis, bagaimana mereka hidup, apa persamaan dan perbedaan sifat pertumbuhan dan sifat buahnya. Saya yakin hal ini akan mempengaruhi karakter tokoh yang akan dibawakan, setidaknya menambah referensi. Tidak sekedar Bawang Putih baik dan Bawang Merah jahat. 

Mengapa harus demikian? Tanggung jawab sebagai seniman memang tidak kalah beratnya dengan profesi lain. Seniman merupakan agen hiburan sekaligus agen refleksi. Hal ini sudah terjadi sekian lama, misalnya pada tari Serimpi Kandha yang mengandung sebuah pesan mengenai larangan pernikahan endogami  (perkawinan sedarah). Dari karya tersebut maka jika creator ditanya mengapa membuat karya tersebut dan dari mana mengetahui mengenai tidak baiknya pernikahan endogami bukan hanya dari sisi sopan santun tetapi juga dari sisi kedokteran/ kesehatan, maka creator harus dapat menjawab karena dia yang menyampaikan. Selain ini, misalnya dari cerita bawang merah dan bawang putih di atas, cerita bawang merah dan bawang putih juga banyak menyampaikan pesan kehidupan yang bisa jadi cerminan kehidupan dari salah satu maupun banyak penikmat yang lain, maka selain bertugas menyampaikan sesuai isi cerita yang sudah beredar, kajian ilmiahpun patut disampaikan supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan kesalahan tesis maupun hipotesis dalam interpretasi sebuah cerita.

Dari penjelasan di atas, sudah dapat dilihat, begitu banyak tugas belajar seniman sebelum memulai sebuah karya, maka tidak dipungkiri seniman yang berhasil kebanyakan adalah seniman yang cerdas dan mau belajar serta berwawasan luas selain ditunjang dengan performa yang luar biasa. Ketika akan menggambarkan kehidupan guru, harus belajar menjadi guru, ketika menggambarkan seorang dokter harus menjadi seorang dokter, jadi, masih ada yang mau bilang jadi seniman itu mudah?