Kamis, 12 Januari 2017

TARI DAN MASKULINITAS PENONTON


(Sumber foto: www.malesbanget.com)

Penonton menjadi salah satu unsur penting dalam seni pertunjukan. Reaksi penonton yang sebenarnya lebih sering berdasar atas selera pribadi, kadang-kadang tetap saja menuai kekhawatiran bagi performer. Sebenarnya, kekhawatiran tersebut tidak akan menjadi masalah kecuali ketika sudah terjadi hierarki. Ketika sudah terjadi hierarki antara penonton dan performer, maka independensi performer untuk berkarya akan terganggu dengan ketakutan tidak akan diterima oleh penonton. Seperti layaknya sebuah relasi pacaran misalnya, jika sudah terbentuk hierarki, maka akan ada satu pihak yang lebih dominan dan menguasai, yang kemudian menyulitkan pasangannya untuk berkembang.

Tari, sebagai salah satu bagian dari seni pertunjukan juga terkena imbas dari relasi kuasa yang timpang antara penonton dan pencipta tari. Jika dirunut dari perkembangan tari, mengapa angguk putra sekarang sudah sangat sulit ditemukan atau bahkan sudah bisa dianggap punah? Karena penonton lebih memilih menonton perempuan dibandingkan laki-laki. Secara singkat mungkin dapat diartikan bahwa perempuan (secara fisik) memiliki nilai yang lebih menyenangkan untuk ditonton dibanding laki-laki, kenapa?

Tidak hanya angguk, tetapi di banyak kasus pertunjukan tari perempuan memang dinilai memiliki daya tarik yang lebih dibandingkan laki-laki, kenapa?

Bagi saya secara pribadi, sebenarnya ini juga bukan suatu masalah, hanya saja, jangan sampai kita terjebak pada eksploitasi tubuh perempuan, menjadikan perempuan sebagai objek. Katakanlah tayuban misalnya, yang semula merupakan salah satu media untuk memberi pesan-pesan kebaikan, bahkan pesan agama, kemudian terjerumus ke dalam kuasa penonton, dan akhirinya banyak yang memilih untuk menuruti harapan penonton demi tetap berlangsungnya kehidupan grup tersebut dan anggotanya. Kembali, perempuan menjadi korban atas penonton yang memiliki hierarki lebih tinggi,

Kuasa dan hierarki memang sangat lekat dengan maskulinitas. Tapi maskulinitas ini bukan semata-mata terkait soal penonton kebanyakan adalah laki-laki. Karena maskulinitas tidak melekat pada satu jenis kelamin saja. Maskulinitas penonton kadang menjebak koreografer/performer untuk menuruti selera penonton dan lupa pada apa yang ingin disampaikan. Ini akan semakin meningkatkan kuasa penonton sehingga menambah daftar-daftar karya yang sudah cukup dengan menuruti selera pasar, tentu memang ada karya tari yang diciptakan khusus untuk mengikuti selera pasar, masalahnya adalah jika yang terjebak ke arah itu adalah para kreator yang sejatinya ingin berkarya secara idealis.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa penonton memang tidak bisa dikontrol, tetapi sisi baiknya adalah, kita bisa mengontrol karya kita. Kritik dari para penonton tidak semuanya harus diikuti karena seharusnya dari awal berkarya kreator sudah memiliki tujuan untuk apa nantinya karya tersebut dibuat? Kalau sudah memiliki tujuan berkarya, kita dapat meng-counter ketidaksukaan penonton atas karya kita. Pembuat karya harus memiliki kendali penuh atas karyanya, meskipun tentu saja harus disertai ngobrol dengan banyak orang, meminta pendapat dari yang lebih punya pengetahuan, tapi tetap saja, kemerdekaan memilih adalah milik kreator. Jadi berkaryalah dengan merdeka, tentu harus disertai tanggung jawab.


Nia Agustina
Co-Founder of Paradance Festival
Founder of Project Matematarika







Senin, 02 Januari 2017

Mau Jadi Penari HP atau Pager?

Di postingan sebelumnya, saya memberi catatan untuk acara JIPA 2016. Dalam acara yang bertajuk "Gathering To Sharing" ini, ada sesi diskusi terkait dokumentasi video dari para koreografer baik dalam negeri maupun luar negeri, juga sesi diskusi terkait showcase yang ditampilkan 4 koreografer muda Yogyakarta. 

Dalam sesi diskusi tersebut ada banyak sekali pertanyaan yang muncul dari para peserta dan bahkan juga koreografer. Ada pertanyaan yang selama beberapa hari ini terngiang di benak saya, dan tanpa sengaja saya menemukan jawabannya di diskusi tari komunitas Salihara yang saya tonton via Youtube kemarin sore. Ya, memang Youtube dan Google adalah guru yang paling mudah diakses saat ini, tentu harus disertai filter yang tepat. Diskusi tari Salihara tersebut mengusung tema Tradisi dan Modernitas, sebagai pembicara ada Bapak Sal Murgiyanto dan F.X Widaryanto, yang keduanya adalah pengamat sekaligus kritikus tari.

Salah satu pertanyaan yang mengganggu teman-teman di forum JIPA 2016 adalah terkait style ketubuhan seorang penari. Saya sempat menyimpulkan, semoga kesimpulan saya ini bukan jenis kesimpulan yang serampangan, bahwa keempat penampil showcase di acara JIPA 2016 memiliki selera berkarya yang tidak jauh dari latar belakang mereka. Galih dengan latar belakangnya sebagai penari gaya Yogyakarta, Gusbang yang dari kecil sudah menari Bali dan memang tinggal disana, kemudian Pulung yang tubuhnya seakan-akan mengikuti gravitasi, bergerak dalam level rendah dan hati-hati, memperlihatkan attitudenya sebagai penari gaya Yogyakarta, serta terakhir Citra Pratiwi yang terkesan metropolis seperti tempatnya lahir dan besar, Jakarta.

Kemudian apa hubungannya dengan diskusi yang saya tonton di Youtube? Ada satu kutipan yang pak Sal ambil dari kata-kata Rendra, bahwa hal baru muncul seharusnya karena yang tradisi tidak cukup menampung kebutuhan kita, maka kebaruan harusnya muncul dari suatu tradisi. Maka, style yang diharapkan oleh teman-teman di forum "Gathering to Sharing" JIPA 2016 lalu sebenarnya sangat bisa dan bahkan justru hanya bisa diperoleh dari mendalami tradisi tubuh dan hidup masing-masing selama ini, menemukan berdasarkan pengalaman empiris dan hal-hal kontekstual yang tidak jauh dari diri sendiri. Hal ini tentu harus disertai dengan pengetahuan dan wawasan di luar tubuh yang dapat dicapai dengan melihat semakin banyak pertunjukan, mengikuti berbagai workshop, dan membaca dan mempelajari berbagai pendekatan dan metode penciptaan tari.

Ini sudah terjadi dalam bidang teknologi, yang dekat dengan kita saja, HP misalnya. Dulu di tahun 90an HP hanya dapat digunakan untuk komunikasi via telfon dan sms, kemudian masuk ke tahun 2000an teknologi HP berkembang, HP menambah fitur kamera, internet, musik, dan sebagainya, tapi apakah fitur telfon dan sms dihilangkan? apakah ringtone HP yang lama dihilangkan? tidak, semuanya hanya diperbaharui dan dikembangakan, karena dirasa telfon dan sms sudah tidak cukup mampu menampung kebutuhan pengguna. Berarti HP dengan teknologi terbaru bahkan masih menyimpan teknologi lama, hanya kemudian dikembangkan dan diperbaharui untuk lebih memudahkan pengguna. Apa jadinya jika HP yang diluncurkan kemudian "benar-benar baru"? Tidak ada fitur telfon dan sms, misalnya? Apakah dia masih dapat disebut HP? Masih ingat dengan pager? Kenapa pager tidak lebih langgeng dibanding HP? Karena tidak ada pengembangan teknologi pager, dia ditinggalkan dan kemudian berganti total teknologinya menjadi HP, dan kenapa HP langgeng? Karena dia tidak meninggalkan "tradisinya" tetapi terus mengembangkan tradisi tersebut menjadi semakin canggih dan memudahkan (Setidaknya sampai saat ini).

Jadi mau jadi Penari HP atau pager?  

Nia Agustina
Manajer Program Paradance Festival
Founder of Project Matematarika
niaparadance@gmail.com