Selasa, 08 Agustus 2017

MEMBEDAH TUBUH PENARI GONG, ENCHANTMENT OF TARI GONG #1

Tari Gong atau tari Kancet Ledo, tari yang berasal dari Kalimantan Timur (Suku Dayak Kenyah) ini, dimainkan oleh seorang penari putri yang menari di atas gong sambil berdiri. Ragam tari gong adalah gerakan tangan yang sangat sederhana, tidak banyak perubahan ragam, hanya diulang-ulang dengan tempo yang lambat. Sedang gerakan kaki hanya melangkah dan berpijak pada gong saja. Keistimewaan dari tari ini adalah kelenturan dan keseimbangan. rangkaian bulu ekor dari burung enggang terselip di tangan penari selama tari Gong berlangsung.

Dari gambaran tari Gong tersebut, apa kemudian yang membuatnya istimewa? Ketenangan baik fisik maupun psikis dari si penari. Ketenangan tersebutlah yang membuat taksu sekaligus nilai spektakel dari penari Gong ini muncul selama pertunjukan. Dari situlah, Eka Wahyuni, sang Koreografer memutuskan untuk membedah ketubuhan penari Gong, seperti pernyataan yang ia tuliskan tentang karyanya, "Karya ini merupakan sebuah laboratorium untuk membedah tubuh penari gong melalui pendekatan fenomenologi, dimana tubuh ‘dinetralkan’ dan ‘menanggalkan’ nilai dan konteks - konteks sosialnya sebagai upaya mencerna dan menggali lebih dalam lagi pengalaman dan peristiwa ketubuhan penari gong. Koreografer berusaha untuk memberikan lebih banyak perhatian pada perolehan pengalaman estetis yang lebih utuh, terutama pada sensasi motorik penari gong Dayak Kenyah, Kalimantan Timur."

Foto Setiawan Sugiharto.
Foto oleh: Setiawan Sugiharto

Enchantment of Tari Gong #1 ini dipertunjukkan dalam helatan PARADANCE #12 di Balai Budaya Sinduharjo. Saya secara subjektif tentunya, selama pertunjukan berlangsung, merasakan balutan kesederhanaan tetapi penuh karisma. Musik hanya sebagai penanda-penanda saja, kemudian kostum penari hanya tank top abu-abu dan hot pants hitam, latar belakang putih memang disetting khusus untuk karya ini. Semua bagian tari diletakkan di center panggung, tidak berpindah. Dinda, sang penari yang dipilih oleh Eka memang memiliki karakteristik tenang, saya mengenal dia sebelumnya, sehingga dalam karya ini ketenangannya sangat alami. Ragam tari Gong yang dibedah muncul satu demi satu dengan lebih mempertimbangkan bagaimana Dinda, sang penari mengalami detail mana saja yang menjadi kekuatan, tumpuan, daerah yang ditekan, dilepaskan dari ragam tersebut.  Detail nafas, juga mempengaruhi aliran-aliran ragam yang ditunjukkan Dinda. Sampai di tengah pertunjukan ditambahkan efek bayangan yang semakin menambah karisma sekaligus spektakel dalam rangka pembedahan tari Gong ini.

Ya saya melihat keindahan tari Gong tanpa dengan cara yang berbeda, tidak dengan kostum Dayak, atau bulu ekor Enggang yang diletakkan di antara jari tangan. Sempat saya melihat gladi bersih Dinda sebelumnya, mungkin ini yang menjadi catatan saya. Pada saat gladi bersih Dinda sebagai penari terlihat lebih tenang dan powernya lebih besar dan pas ketimbang pada saat pertunjukan berlangsung. Apa yang mempengaruhi? Mungkin karena sadar dilihat oleh banyak penonton atau memang sudah kelelahan saya kurang tahu pasti. Tapi sangat terasa energinya menurun. Selain itu efek bayangan yang dimunculkan, ini mungkin hal teknis tapi agak mengganggu, karena kain putih sebagai latar kurang tinggi dan lebar atau bisa jadi penari yang kurang maju ke depan, ada bayangan yang terpotong, kebanyakan tangan. Ini catatan yang lain.

Bagi saya, Enchantment of Tari Gong ini harus dibuat sekuel kedua dan selanjutnya hingga tuntas, karena menarik, mungkin dengan pendekatan seperti mengkaji tubuh Butoh. Dalam buku Kazuo Ohno's World from Without & Within ada chapter yang sangat menarik terkait pembedahan tubuh ini. Chapter tersebut berjudul The Dancing Body, yang subchapternya membahas satu persatu bagian tubuh Butoh Kazuo Ohno, The Face, The Mouth, the Voice, The Eye, The Ear, The Hand, and The Back. Kemudian chapter selanjutnya soal Performance, yang dikaji, beberapa diantaranya Falling, Standing, Fluidity, Feminity, Masculinity, dsb. Mungkin Eka perlu memecah-mecah hal-hal semacam itu dalam proses pembedahan tubuh Tari Gong ini, sehingga hasilnya akan lebih detail dan menemukan hal-hal yang semakin menarik. 

Bagi yang ingin melihat Enchantment of Tari Gong #1, silahkan klik link di bawah ini:

Jumat, 04 Agustus 2017

MEMAKNAI KEMBALI BUSANA DALAM NGADI SALIRA

Galih Puspita, seorang koreografer yang saya lihat konsisten bercengkrama dengan bentuk-bentuk ritual kejawen dalam setiap karya-karyanya. Ritual disini tidak semata-mata bentuk fisik/lahiriah, tetapi terkadang dia mengolah bentuk batiniah sedang secara lahiriah karyanya sudah terbalut modernitas dengan bentuk yang lebih kontemporer, Dalam PARADANCE #13 Galih kembali memaknai salah satu hal penting dalam budaya masyarakat Jawa, busana. Ngadi Salira, karya tari ini, menurut Galih, bercerita tentang seorang yang bercengkerama dengan busananya. Bagaimana busana dapat menjadi sebuah batas positif, pencipta karakter dan penuntun ke arah mana akan berjalan.

Galih memulai Ngadi Salira dengan berjalan ke dalam area panggung dengan perlahan, kemudian meletakkan cunduk mentul. Di sebelah cunduk mentul dia letakkan stagen, stagen tersebut dibuka memanjang menyudut 45 derajat, kemudian diambilnya jarik yang dia letakkan persis setelah ujung stagen, dia juga membuka jarik tersebut, dan terakhir dia menata kebaya di bawah cunduk mentul. Semua hal itu dia lakukan dengan santai tidak terburu-buru dan tidak banyak distilisasi, ya meletakkan dan menata seperti biasa, tanpa iringan. Setelah semua selesai ditata, iringan mulai terdengar dan Galih mulai bergerak dengan posisi persis di dekat kebaya, gerakan-gerakan yang diperlihatkan saya rasa memperlihatkan kebebasan sekaligus keterbelengguan, tetapi mungkin juga Galih sedang berdialog dan bernegosiasi dengan dirinya dan busananya. Beberapa menit setelah itu Galih berpindah dengan jalan seperti biasa ke arah jarik dan bergerak di sana dengan bentuk-bentuk dan tempo gerakan yang sama, dengan energi gerak tari klasik gaya Yogyakarta yang "mbanyu mili" tetapi mengambil gerakan improvisasi yang sama sekali bukan tari klasik gaya Yogyakarta, Galih mampu terlihat anggun sekaligus mistis di saat yang sama. Menit keenam Galih mulai berbaring dan mengguling perlahan di atas jarik, dilanjutkan stagen, kemudian dia duduk dan bergerak mengambil kebaya, mengenakannya, dan terakhir cunduk mentul.

Foto from instagram: @satriaatasangin 

Meski pada akhirnya Galih memang tidak 100% berhasil secara rapih memakai busana kebaya lengkap dengan jarik dan stagen, tetapi point pentingnya adalah bagaimana Galih membuat pilihan artistik atas pertunjukannya, seperti dia menggunakan busana dengan cara yang tidak seharusnya, dengan cara tidur dan menggulingkan tubuhnya di atas busana yang ingin dia pakai. Galih sendiri pernah bercerita bahwa pilihan ini tidak semata-mata urusan artistik, tetapi untuk kembali menggali memori pengalaman awalnya menggunakan busana ini, kesulitan karena detailnya cukup banyak dan cara penggunaan yang harus menaati pakem yang ada. Diharapkan penonton juga menangkap pengalaman tersebut.

Kebaya dan kelengkapannya secara simbolis menyimpan nilai-nilai moral dan filosofis. Kebaya sendiri melambangkan kepribadian perempuan Jawa yang patuh, lemah lembut, dan halus. Kain jarik yang menutup dengan ketat bagian bawah memiliki arti bahwa wanita merupakan sosok yang bisa menjaga kesucian dirinya serta tidak mudah menyerahkan diri kepada siapapun. Sementara stagen berfungsi sebagai perlambang perempuan yang mampu menyesuaikan diri. Dengan memakai kebaya dan kelengkapannya, secara otomatis peempuan akan berlaku lebih terbatas tanpa diperintah, mereka akan sangat sulit duduk jegang karena jarik melilit ketat (dengan catatan penggunaan masih sesuai pakem). kemudian akan duduk dengan punggung tegak, karena stagen melilit erat. Bisa dibandingkan dengan seseorang yang menggunakan celana dan kaos oblong, dia bisa bergerak bebas, duduk dengan bebas.

Maka, pakaian atau busana memang menciptakan karakter tertentu pada saat dia dikenakan, secara otomatis memberi batasan-batasan tertentu. Ya seperti penjelasan Galih atas karyanya bahwa busana dapat menjadi sebuah batas positif, pencipta karakter dan penuntun ke arah mana akan berjalan. Tapi saya secara pribadi kurang setuju soal batas positif, perlu dikaji kembali soal ini, kadang-kadang batas juga mampu berbalik menjadi hal yang negatif, dominasi, posesifitas, dan kendali yang berlebihan. Kemudian penuntun jalan, bisa jadi, ketika anda menggunakan pakaian punk, pakaian itu akan menuntun jalan anda menuju kehidupan punk misalnya. Maka pilihan busana menjadi penting untuk memperlihatkan siapa diri kita, bukan semata untuk kecantikan, trend, dan #ootd di media sosial. Busana yang anda pakai adalah refleksi pertama dari siapa diri anda. Mungkin Galih perlu melakukan kajian soal busana Jawa lebih detail lagi, melakukan riset soal ini dengan metode tertentu, mendekati dengan teori feminis atau berkolaborasi dengan desainer fashion, terdengar menarik dan potensial.

Bagi yang ingin melihat karya Galih Puspita, silahkan klik link di bawah ini:

Rabu, 02 Agustus 2017

SIBAR, CAPUNG MENJADI BAHAN EKPLORASI

Berdasarkan keterangan dari si empunya karya, Gita Prabhawita, karya Sibar yang ia pentaskan dalam PARADANCE #14  terinspirasi dari identitas tari bali yang terletak pada kekuatan mata. Salah satu pergerakkan mata tersebut menyerupai gerakan mata capung. Menurut perempuan kelahiran 1994 ini gerak mata capung yang tajam, peka, kuat, dan cepat itulah yang kemudian dituangkan dalam gerak tubuh. Ada beberapa keterangan yang saya ambil secara acak dari google, mata capung sudut pandangnya nyaris mencapai 360 derajat, apung memiliki mata majemuk yang berisi 30.000 segi, masing-masing memberikan informasi tentang lingkungan di sekeliling capung sehingga ia sangat peka, selain itu capung juga dapat melihat dunia dalam warna-warna yang tak bisa kita bayangkan (karena opsin capung mencapai 11-30). Selain mata, tubuh capung sepertinya juga menjadi bagian dari eksplorasi dara cantik kelahiran Denpasar ini. Capung memiliki kecepatan sekaligus keakuratan dalam menilai lintasan mangsa, terbang dengan tangkas, punya fleksibilitas, dan daya tahan yang kuat.

Sibar sendiri diambil dari penggalan kata sibar-sibar yang berarti capung. Dalam prosesnya karya ini ingin memunculkan kepekaan penari terhadap tubuhnya. Menyadari dan merasakan setiap segmen dalam tubuh mereka. Kelincahan, kekuatan, dan kesensitifan tubuh dalam menerima pergerakan.

Pertunjukan 12 menit tanpa iringan ini bagi saya sangat menarik, dengan diawali seorang penari perempuan di tengah panggung, membuat gerakan lambat, kemudian cepat dan mendadak pose dengan bentuk kosa gerak bali, kembali lambat, cepat, dan pose, demikian seterusnya. Dan diulang terus menerus dengan metode yang sama dan gerakan berbeda-beda. Hasilnya, kejutan-kejutan dari gerak cepat ke pose ini yang menarik perhatian saya. Ya, sang koreografer benar-benar mengekplorasi sikap capung yang cepat dan tangkas, sehingga secara mengejutkan mampu menangkap mangsanya, tanpa disadari sang mangsa. Selain tubuh, penari juga mentransformasikan mata capung yang mampu melihat sekelilingnya dengan cara membuat gerakan mata dan kepala yang digerakkan memutar seakan 360 derajat.

Foto Setiawan Sugiharto.
Fotografer: Setiawan Sugiharto
Sekitar menit ke enam penari perempuan tersebut kemudian menuju panggung bagian kanan (kanan penari), menjemput satu orang penari perempuan dan mulai menari dengan gerakan bersama lambat, cepat, pose, kemudian satu penari muncul dari sisi kiri panggung, penari laki-laki. Mereka menari bertiga, tanpa iringan, mengandalkan kepekaan, seperti kepekaan capung dengan gerakan lambat, cepat, pose. Meskipun para penari dituntut berubah dengan cepat dari lambat, cepat, pose, tetapi mereka terlihat sangat berusaha untuk presisi pada titik-titik yang sudah ditentutan, sekaligus selalu menjaga powerd dan energy supaya daya hentak ketika mengalami perubahan kecepatan gerak bisa terlihat. Tidak dipungkiri, ada beberapa kali para penari terkesan hilang, tetapi mereka kembali dengan cepat. Saya rasa memang latihan intensif untuk karya semacam ini sangat penting, bukan hanya soal pentuk geraknya yang harus  diperbaiki presisi, tetapi focus, power, dan energy penari memang perlu digenjot, supaya daya magis dari karya ini semakin terlihat.

Saya rasa Gita harus terus melanjutkan eksplorasi ini, dari hal yang sangat sederhana, capung tetapi eksekusinya menarik. Perlu saya tegaskan, bahwa karya tidak melulu dari hal-hal besar, hal-hal kecil di sekeliling kita jika kita mampu mengolahnya dengan disiplin, ilmu yang cukup, dan tidak lelah berproses, niscaya akan menjadi hal besar.


Ingin melihat karya Sibar dari Gita Prabhawita, klik link di bawah ini: