Tampilkan postingan dengan label koreografer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label koreografer. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 September 2017

RESIDENSI: KEBUTUHAN SAYA ATAU MASYARAKAT?

Suhu udara panas khas daerah pesisir mulai terasa ketika saya memasuki wilayah Pemenang, Lombok Utara, pertanda perjalanan baru akan dimulai.  Perjalanan ini memang bukan exactly “sebuah perjalanan”, tetapi residensi dalam rangka Bangsal Manggawe 2017 yang diinisiasi oleh teman-teman Yayasan Pasir Putih. Sebelum bertolak ke Lombok saya sempat bertemu dengan salah satu kurator, MG Pringgotono. Dalam diskusi sebelum keberangkatan, saya diberi gambaran soal wilayah dimana tempat saya tinggal selama residensi dan kemungkinan karya seperti apa yang bisa saya kerjakan bersama dengan masyarakat. Meskipun gambaran soal residensi dan kemungkinan karya yang bisa dikerjakan sudah sangat jelas, tetapi saya memilih mengosongkan gambaran-gambaran tersebut, kenapa? Karena saya percaya bahwa residensi selalu membawa seorang seniman kepada hal-hal yang totally baru, bahwa residensi adalah waktu yang tepat bagi seseorang untuk mengasah hati dan pikirannya untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan wilayah residensinya, bahwa residensi adalah waktunya seorang seniman diuji kerendah hatiannya.
Seminggu pertama saya berada di dusun Budha Tebango, Pemenang, Lombok Utara (dusun Budha dengan 100% masyarakat lokal, bukan chinesse), benar-benar saya manfaatkan untuk berkeliling saja dan berbincang dengan tokoh-tokoh Pemenang. Dari perjalanan dengan beberapa tokoh tersebut akhirnya saya memutuskan membuat 2 buah karya, Warung Dongeng dan Tari Mempolong. Warung Dongeng adalah sebuah proyek penelusuran babad 3 kampung di Pemenang, Karang Kauhan (Kampung Hindu), Karang Pangsor (Kampung Muslim), dan Tebango (Kampung Buddha). Konon 3 kampung tersebutlah yang paling memiliki pengaruh terhadap berdirinya Pemenang. Yang kedua, tari Mempolong (mempolong berarti bersaudara), tari ini diharapkan akan menjadi salah satu symbol bagi toleransi, persatuan dan kebhinekaan di Pemenang. Ya, soal karya ini tidak akan saya jelaskan panjang lebar, karena saya sendiri tidak yakin apakah karya ini benar-benar bermanfaat untuk Pemenang? Apakah setelah ini mereka akan lebih bersatu setelah mengikuti sesi Warung Dongeng dan melihat tari Mempolong? Dimana letak fungsi karya dan proses saya dalam residensi ini? Apakah masyarakat Pemenang memang membutuhkan saya dan karya saya?
Pertanyaan-pertanyaan itu juga kemudian yang mengawali refleksi saya atas perjalanan residensi ini. Saya bertahun-tahun hidup di pusat kota Jogja yang meskipun ramai dan berbudaya tetapi mulai terkesan individualis, kapitalis, dan hedonis, ditambah setahun terakhir saya hidup di kompleks perumahan yang menambah insting individualis, kapitalis, dan hedonis tumbuh dengan sangat baik. Selain berkarya, selama 3 minggu masa residensi, saya mengikuti aktivitas masyarakat Tebango, terutama ibu residen yang memberi tempat tinggal kepada saya. Sebelum aktivitas berkarya yang biasanya di sore sampai malam hari, pagi sampai siangnya saya ikut berbelanja ke pasar, berbelanja ke “warung tetangga” karena di Pemenang tidak ada minimarket franchise seperti yang bertebaran di Jogja, memasak, ngobrol dengan ibu dan tetangga, juga ikut bergotong royong membangun Vihara. Bisa dibayangkan, betapa canggungnya saya berada dalam kondisi demikian, harus beramah tamah dengan warga masyarakat, kemudian harus membeli segala sesuatunya di pasar dan “warung tetangga” yang tidak bisa asal comot barang, bayar, dan ngeloyor pergi tanpa mempedulikan penjualnya, harus ngobrol dengan warga masyarakat dan makan bersama dengan mereka selama gotong royong pembangunan VIhara. Beruntung sekali, ibu residen dan masyarakat Tebango sangat terbuka terhadap orang baru, saya merasa mendapatkan treatmen untuk mengasah kembali insting sosial, menekan keinginan hura-hura saya serta melupakan mall, Indomaret, dan Alfamart.

Hal lain, selama 2 tahun belakangan saya ikut tergabung menjadi relawan kesetaraan gender dan anti kekerasan terhadap perempuan di salah satu LSM di Jogja. Mau tidak mau untuk menunjang aktivitas tersebut, saya harus belajar soal feminisme dan terjun langsung menjadi aktivis kesetaraan, juga ikut berjuang membela hak sebagai perempuan. Terkesan heroik! Memang! Tapi itu semua seperti tidak cukup berarti ketika saya mulai ngobrol serius dengan ibu residen. Suatu hari sehabis makan, kami berbincang, ibu residen menanyakan soal pernikahan saya, dan cerita dimulai. Penasaran juga dengan kehidupan pernikahan ibu residen, saya akhirnya menagih cerita. Cerita bergulir dan jiwa aktivis saya mulai melempem. Ibu residen sama sekali belum pernah belajar feminisme dan kesetaraan gender (saya sudah mengkonfirmasi langsung kepada beliau), tetapi dari prinsip-prinsip hidupnya dia adalah salah satu sosok perempuan yang menerapkan ilmu feminis dan kesetaraan dengan sangat baik. Sedikit gambaran, ibu residen adalah seorang ibu rumah tangga biasa, punya toko kelontong di depan rumah tapi tidak terlalu serius. Dia adalah sosok yang hampir tidak punya rasa marah, tetapi jiwanya sangat kuat, sampai bapak residen mengakui bahwa kekuatan di rumah ini berasal dari ibu, bukan bapak. Dia bukannya tidak mau bekerja di luar rumah, tapi dia memilih secara sadar untuk menjadi ibu rumah tangga. Dia memiliki statement bahwa ibu adalah sosok terkuat di dalam rumah, bukan bapak. Ibulah yang menopang keluarga, bukan bapak. Bapak di dalam rumahnya hanya menopang ekonomi keluarga saja, lebih berat yang mana? Tanyanya. Dalam terminology kehidupan tidak ada bapak bumi yang ada ibu bumi. maka yang menopang bumi, yang menopang dunia adalah ibu, bukan bapak. Maka, tidak perlu menanyakan kesetaraan, kita sebagai perempuan sudah jelas-jelas memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan laki-laki dalam hal ini. Saya kembali tersadarkan, hampir dalam sebulan sekali saya melakukan fasilitasi soal kesetaraan gender di salah satu desa di Kulon Progo, Yogyakarta, tapi disana saya selalu berlaku sebagai orang yang lebih tahu soal kesetaraan dibandingkan peserta. Hari itu, di suatu dusun kecil Tebango, Pemenang, Lombok Utara, saya harus mengakui bahwa saya harus belajar lagi dari masyarakat, dan belajar menjadi rendah hati atas ilmu-ilmu yang sudah saya pelajari di masa lalu.




Belum selesai sampai disitu. Selama residensi saya sangat membutuhkan bantuan banyak pihak, mencari berbagai perlengkapan dan pergi kesana kemari. Pada awalnya tidak terbayang bagaimana saya akan pergi, bagaimana saya mencari perlengkapan untuk karya saya, dan bagaimana membawa segala sesuatu kesana kemari. Tapi tanpa saya minta semua orang di sekitar saya tinggal selama residensi, sangat membantu, di sela-sela kesibukan mereka sekolah dan beberapa bekerja, mereka meluangkan waktu untuk membantu keperluan saya. Suatu hari saya bertanya, kenapa mereka mau membantu bahkan ikut menanyakan kebutuhan-kebutuhan saya? Jawabannya beragam, tapi intinya sama, ajaran Buddha adalah cinta kasih, jadi kita harus mengasihi siapapun, menolong siapapun, berbuat baik kepada siapapun tanpa memandang dia berasal darimana. Meskipun saya sendiri sudah tahu sejak lama soal ajaran Buddha tersebut, tapi yang mengherankan adalah semua orang yang saya temui di dusun Tebango menerapkan ajaran tersebut dengan sangat baik, saya tidak melebih-lebihkan, memang semua orang disana sangat penuh cinta kasih kepada sesama, dari anak kecil hingga orang dewasa, bahkan orang tua. Ibu residen akhirnya menyempatkan untuk menunjukkan beberapa kutipan kitab yang ditulis di papan-papan dan di pasang di pepohonan sekitar vihara, beberapa tulisan disana antara lain: “Pikiran adalah pelopor, pemimpin dan pembentuk dari segala sesuatu”, “Kebahagiaan mengikuti ucapan, perbuatan, dan pikiran yang baik”, “ Bagai hujan tidak dapat menembus atap rumah baik, nafsu tidak dapat menembus pikiran yang baik”, “Sesungguhnya mereka yang bertengkar akan binasa, mereka yang sadar akan mengakhiri pertengkaran”, dan masih ada beberapa lagi yang tidak sempat saya dokumentasikan. Ajaran-ajaran Buddha seperti beberapa yang saya tuliskan memang tidak ada yang membicarakan persoalan langit, segalanya soal cara menghadapi hidup di bumi dengan baik, itulah alasan yang kemudian membuat umat Buddha lebih mudah menerapkan ajaran Buddha, tidak rumit, semuanya tentang hidup sehari-hari. Begitupun soal cinta kasih, ibu residen menjelaskan, ajaran Buddha soal cinta kasih tidak menjanjikan surga, hanya ada petunjuk jika hidup dengan cinta kasih, maka kehidupan di bumi akan lebih baik. Agama bukan sekedar jalan menuju surga, tapi agama adalah cara hidup yang baik, agama apapun, sambung ibu residen. Dari situ entah kenapa saya menjadi lebih mencintai agama saya, Islam, sembari bertanya-tanya, kenapa kecintaan saya terhadap Islam justru muncul dari perbincangan saya dengan umat Buddha?

Dari pengalaman-pengalaman itu, saya merasa karya saya tidak berarti apa-apa, selama seminggu sepulang saya dari Lombok sampai saya menulis tulisan ini, setiap hari saya merefleksikan hasil residensi saya. Ternyata sayalah yang mendapat lebih banyak pelajaran dari masyarakat, sedangkan mereka? Ya, saya lebih butuh bertemu mereka untuk memperbaiki kehidupan saya, meningkatkan sensitifitas saya, dan belum tentu mereka butuh bertemu saya dan karya saya, mungkin karya saya hanya sebuah perayaan, bukan esensi seperti selayaknya yang mereka sudah berikan kepada saya.



Selasa, 08 Agustus 2017

MEMBEDAH TUBUH PENARI GONG, ENCHANTMENT OF TARI GONG #1

Tari Gong atau tari Kancet Ledo, tari yang berasal dari Kalimantan Timur (Suku Dayak Kenyah) ini, dimainkan oleh seorang penari putri yang menari di atas gong sambil berdiri. Ragam tari gong adalah gerakan tangan yang sangat sederhana, tidak banyak perubahan ragam, hanya diulang-ulang dengan tempo yang lambat. Sedang gerakan kaki hanya melangkah dan berpijak pada gong saja. Keistimewaan dari tari ini adalah kelenturan dan keseimbangan. rangkaian bulu ekor dari burung enggang terselip di tangan penari selama tari Gong berlangsung.

Dari gambaran tari Gong tersebut, apa kemudian yang membuatnya istimewa? Ketenangan baik fisik maupun psikis dari si penari. Ketenangan tersebutlah yang membuat taksu sekaligus nilai spektakel dari penari Gong ini muncul selama pertunjukan. Dari situlah, Eka Wahyuni, sang Koreografer memutuskan untuk membedah ketubuhan penari Gong, seperti pernyataan yang ia tuliskan tentang karyanya, "Karya ini merupakan sebuah laboratorium untuk membedah tubuh penari gong melalui pendekatan fenomenologi, dimana tubuh ‘dinetralkan’ dan ‘menanggalkan’ nilai dan konteks - konteks sosialnya sebagai upaya mencerna dan menggali lebih dalam lagi pengalaman dan peristiwa ketubuhan penari gong. Koreografer berusaha untuk memberikan lebih banyak perhatian pada perolehan pengalaman estetis yang lebih utuh, terutama pada sensasi motorik penari gong Dayak Kenyah, Kalimantan Timur."

Foto Setiawan Sugiharto.
Foto oleh: Setiawan Sugiharto

Enchantment of Tari Gong #1 ini dipertunjukkan dalam helatan PARADANCE #12 di Balai Budaya Sinduharjo. Saya secara subjektif tentunya, selama pertunjukan berlangsung, merasakan balutan kesederhanaan tetapi penuh karisma. Musik hanya sebagai penanda-penanda saja, kemudian kostum penari hanya tank top abu-abu dan hot pants hitam, latar belakang putih memang disetting khusus untuk karya ini. Semua bagian tari diletakkan di center panggung, tidak berpindah. Dinda, sang penari yang dipilih oleh Eka memang memiliki karakteristik tenang, saya mengenal dia sebelumnya, sehingga dalam karya ini ketenangannya sangat alami. Ragam tari Gong yang dibedah muncul satu demi satu dengan lebih mempertimbangkan bagaimana Dinda, sang penari mengalami detail mana saja yang menjadi kekuatan, tumpuan, daerah yang ditekan, dilepaskan dari ragam tersebut.  Detail nafas, juga mempengaruhi aliran-aliran ragam yang ditunjukkan Dinda. Sampai di tengah pertunjukan ditambahkan efek bayangan yang semakin menambah karisma sekaligus spektakel dalam rangka pembedahan tari Gong ini.

Ya saya melihat keindahan tari Gong tanpa dengan cara yang berbeda, tidak dengan kostum Dayak, atau bulu ekor Enggang yang diletakkan di antara jari tangan. Sempat saya melihat gladi bersih Dinda sebelumnya, mungkin ini yang menjadi catatan saya. Pada saat gladi bersih Dinda sebagai penari terlihat lebih tenang dan powernya lebih besar dan pas ketimbang pada saat pertunjukan berlangsung. Apa yang mempengaruhi? Mungkin karena sadar dilihat oleh banyak penonton atau memang sudah kelelahan saya kurang tahu pasti. Tapi sangat terasa energinya menurun. Selain itu efek bayangan yang dimunculkan, ini mungkin hal teknis tapi agak mengganggu, karena kain putih sebagai latar kurang tinggi dan lebar atau bisa jadi penari yang kurang maju ke depan, ada bayangan yang terpotong, kebanyakan tangan. Ini catatan yang lain.

Bagi saya, Enchantment of Tari Gong ini harus dibuat sekuel kedua dan selanjutnya hingga tuntas, karena menarik, mungkin dengan pendekatan seperti mengkaji tubuh Butoh. Dalam buku Kazuo Ohno's World from Without & Within ada chapter yang sangat menarik terkait pembedahan tubuh ini. Chapter tersebut berjudul The Dancing Body, yang subchapternya membahas satu persatu bagian tubuh Butoh Kazuo Ohno, The Face, The Mouth, the Voice, The Eye, The Ear, The Hand, and The Back. Kemudian chapter selanjutnya soal Performance, yang dikaji, beberapa diantaranya Falling, Standing, Fluidity, Feminity, Masculinity, dsb. Mungkin Eka perlu memecah-mecah hal-hal semacam itu dalam proses pembedahan tubuh Tari Gong ini, sehingga hasilnya akan lebih detail dan menemukan hal-hal yang semakin menarik. 

Bagi yang ingin melihat Enchantment of Tari Gong #1, silahkan klik link di bawah ini:

Kamis, 12 Januari 2017

TARI DAN MASKULINITAS PENONTON


(Sumber foto: www.malesbanget.com)

Penonton menjadi salah satu unsur penting dalam seni pertunjukan. Reaksi penonton yang sebenarnya lebih sering berdasar atas selera pribadi, kadang-kadang tetap saja menuai kekhawatiran bagi performer. Sebenarnya, kekhawatiran tersebut tidak akan menjadi masalah kecuali ketika sudah terjadi hierarki. Ketika sudah terjadi hierarki antara penonton dan performer, maka independensi performer untuk berkarya akan terganggu dengan ketakutan tidak akan diterima oleh penonton. Seperti layaknya sebuah relasi pacaran misalnya, jika sudah terbentuk hierarki, maka akan ada satu pihak yang lebih dominan dan menguasai, yang kemudian menyulitkan pasangannya untuk berkembang.

Tari, sebagai salah satu bagian dari seni pertunjukan juga terkena imbas dari relasi kuasa yang timpang antara penonton dan pencipta tari. Jika dirunut dari perkembangan tari, mengapa angguk putra sekarang sudah sangat sulit ditemukan atau bahkan sudah bisa dianggap punah? Karena penonton lebih memilih menonton perempuan dibandingkan laki-laki. Secara singkat mungkin dapat diartikan bahwa perempuan (secara fisik) memiliki nilai yang lebih menyenangkan untuk ditonton dibanding laki-laki, kenapa?

Tidak hanya angguk, tetapi di banyak kasus pertunjukan tari perempuan memang dinilai memiliki daya tarik yang lebih dibandingkan laki-laki, kenapa?

Bagi saya secara pribadi, sebenarnya ini juga bukan suatu masalah, hanya saja, jangan sampai kita terjebak pada eksploitasi tubuh perempuan, menjadikan perempuan sebagai objek. Katakanlah tayuban misalnya, yang semula merupakan salah satu media untuk memberi pesan-pesan kebaikan, bahkan pesan agama, kemudian terjerumus ke dalam kuasa penonton, dan akhirinya banyak yang memilih untuk menuruti harapan penonton demi tetap berlangsungnya kehidupan grup tersebut dan anggotanya. Kembali, perempuan menjadi korban atas penonton yang memiliki hierarki lebih tinggi,

Kuasa dan hierarki memang sangat lekat dengan maskulinitas. Tapi maskulinitas ini bukan semata-mata terkait soal penonton kebanyakan adalah laki-laki. Karena maskulinitas tidak melekat pada satu jenis kelamin saja. Maskulinitas penonton kadang menjebak koreografer/performer untuk menuruti selera penonton dan lupa pada apa yang ingin disampaikan. Ini akan semakin meningkatkan kuasa penonton sehingga menambah daftar-daftar karya yang sudah cukup dengan menuruti selera pasar, tentu memang ada karya tari yang diciptakan khusus untuk mengikuti selera pasar, masalahnya adalah jika yang terjebak ke arah itu adalah para kreator yang sejatinya ingin berkarya secara idealis.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa penonton memang tidak bisa dikontrol, tetapi sisi baiknya adalah, kita bisa mengontrol karya kita. Kritik dari para penonton tidak semuanya harus diikuti karena seharusnya dari awal berkarya kreator sudah memiliki tujuan untuk apa nantinya karya tersebut dibuat? Kalau sudah memiliki tujuan berkarya, kita dapat meng-counter ketidaksukaan penonton atas karya kita. Pembuat karya harus memiliki kendali penuh atas karyanya, meskipun tentu saja harus disertai ngobrol dengan banyak orang, meminta pendapat dari yang lebih punya pengetahuan, tapi tetap saja, kemerdekaan memilih adalah milik kreator. Jadi berkaryalah dengan merdeka, tentu harus disertai tanggung jawab.


Nia Agustina
Co-Founder of Paradance Festival
Founder of Project Matematarika







Senin, 02 Januari 2017

Mau Jadi Penari HP atau Pager?

Di postingan sebelumnya, saya memberi catatan untuk acara JIPA 2016. Dalam acara yang bertajuk "Gathering To Sharing" ini, ada sesi diskusi terkait dokumentasi video dari para koreografer baik dalam negeri maupun luar negeri, juga sesi diskusi terkait showcase yang ditampilkan 4 koreografer muda Yogyakarta. 

Dalam sesi diskusi tersebut ada banyak sekali pertanyaan yang muncul dari para peserta dan bahkan juga koreografer. Ada pertanyaan yang selama beberapa hari ini terngiang di benak saya, dan tanpa sengaja saya menemukan jawabannya di diskusi tari komunitas Salihara yang saya tonton via Youtube kemarin sore. Ya, memang Youtube dan Google adalah guru yang paling mudah diakses saat ini, tentu harus disertai filter yang tepat. Diskusi tari Salihara tersebut mengusung tema Tradisi dan Modernitas, sebagai pembicara ada Bapak Sal Murgiyanto dan F.X Widaryanto, yang keduanya adalah pengamat sekaligus kritikus tari.

Salah satu pertanyaan yang mengganggu teman-teman di forum JIPA 2016 adalah terkait style ketubuhan seorang penari. Saya sempat menyimpulkan, semoga kesimpulan saya ini bukan jenis kesimpulan yang serampangan, bahwa keempat penampil showcase di acara JIPA 2016 memiliki selera berkarya yang tidak jauh dari latar belakang mereka. Galih dengan latar belakangnya sebagai penari gaya Yogyakarta, Gusbang yang dari kecil sudah menari Bali dan memang tinggal disana, kemudian Pulung yang tubuhnya seakan-akan mengikuti gravitasi, bergerak dalam level rendah dan hati-hati, memperlihatkan attitudenya sebagai penari gaya Yogyakarta, serta terakhir Citra Pratiwi yang terkesan metropolis seperti tempatnya lahir dan besar, Jakarta.

Kemudian apa hubungannya dengan diskusi yang saya tonton di Youtube? Ada satu kutipan yang pak Sal ambil dari kata-kata Rendra, bahwa hal baru muncul seharusnya karena yang tradisi tidak cukup menampung kebutuhan kita, maka kebaruan harusnya muncul dari suatu tradisi. Maka, style yang diharapkan oleh teman-teman di forum "Gathering to Sharing" JIPA 2016 lalu sebenarnya sangat bisa dan bahkan justru hanya bisa diperoleh dari mendalami tradisi tubuh dan hidup masing-masing selama ini, menemukan berdasarkan pengalaman empiris dan hal-hal kontekstual yang tidak jauh dari diri sendiri. Hal ini tentu harus disertai dengan pengetahuan dan wawasan di luar tubuh yang dapat dicapai dengan melihat semakin banyak pertunjukan, mengikuti berbagai workshop, dan membaca dan mempelajari berbagai pendekatan dan metode penciptaan tari.

Ini sudah terjadi dalam bidang teknologi, yang dekat dengan kita saja, HP misalnya. Dulu di tahun 90an HP hanya dapat digunakan untuk komunikasi via telfon dan sms, kemudian masuk ke tahun 2000an teknologi HP berkembang, HP menambah fitur kamera, internet, musik, dan sebagainya, tapi apakah fitur telfon dan sms dihilangkan? apakah ringtone HP yang lama dihilangkan? tidak, semuanya hanya diperbaharui dan dikembangakan, karena dirasa telfon dan sms sudah tidak cukup mampu menampung kebutuhan pengguna. Berarti HP dengan teknologi terbaru bahkan masih menyimpan teknologi lama, hanya kemudian dikembangkan dan diperbaharui untuk lebih memudahkan pengguna. Apa jadinya jika HP yang diluncurkan kemudian "benar-benar baru"? Tidak ada fitur telfon dan sms, misalnya? Apakah dia masih dapat disebut HP? Masih ingat dengan pager? Kenapa pager tidak lebih langgeng dibanding HP? Karena tidak ada pengembangan teknologi pager, dia ditinggalkan dan kemudian berganti total teknologinya menjadi HP, dan kenapa HP langgeng? Karena dia tidak meninggalkan "tradisinya" tetapi terus mengembangkan tradisi tersebut menjadi semakin canggih dan memudahkan (Setidaknya sampai saat ini).

Jadi mau jadi Penari HP atau pager?  

Nia Agustina
Manajer Program Paradance Festival
Founder of Project Matematarika
niaparadance@gmail.com





Jumat, 30 Desember 2016

CATATAN JIPA 2016: Jogja Imaginary Performing Arts



2016, JIPA berlangsung dengan format tidak seperti biasanya. JIPA yang sebenarnya merupakan akronim dari Jogja International Performing Arts, bertransformasi menjadi Jogja Imaginary Performing Arts. Mungkin hanya tahun ini saja, atau mungkin akan berlanjut ke tahun-tahun berikutnya? Tidak ada yang tahu.

Berkolaborasi antara Jaran Art Space, Mila Art Dance, Sanggar Seni Kinanti Sekar, Ayu Permata Dance Company, Paradance Festival, Kawung Art Culture and Wisdom serta Galih Puspita Dance Grup, kami mencoba membuat JIPA yang kebetulan berada di penghujung tahun menjadi jawaban atas kebutuhan para kreator dan seniman tari muda di Yogyakarta. Kebutuhan semacam apa? tentu saja kami bisa salah duga. Kami rasa Yogyakarta adalah surganya event tari/ wadah tari, tetapi kering edukasi, terutama bagi para kreator dan seniman tari kontemporer. Banyak seniman muda Jogja yang berkarya di ranah tari kontemporer, tapi dinamika kualitasnya masih sangat lamban. Dengan alasan itu, akhirnya JIPA 2016 memutuskan untuk membuat acara yang formatnya kekeluargaan dan hangat yaitu "Gathering to Sharing" yang sudah terjadi pada 27 dan 28 Desember 2016 lalu.

Gathering to Sharing ini menghadirkan 4 penampil showcase yang kemudian didiskusikan dan diberi masukan (karena keempatnya adalah karya onprogress), kemudian ada sesi menonton dan ngobrol-ngobrol terkait 4 video dokumentasi pertunjukan tari: Cloud Gate-Moon Water, Gumarang Sakti-Karya Boy G Sakti untuk FKY 2003, Tao Dance Theatre - <<6>>, dan Anna Teresa de Keersmaeker - Fase. Sesi diskusi dan ngobrol tersebut sebenarnya tidak semata-mata untuk mencari tahu biografi koreografer dan karyanya (karena tidak ada narasumber di forum ini), tetapi lebih kepada membayangkan prosesnya, kemudian mencari celah kegelisahan sekaligus apa yang bisa dilakukan untuk perkembangan tari kontemporer sesuai kebutuhan forum. Jogja Imaginary Performing Arts (JIPA) 2016 ini mencoba memberi ruang bagi para koreografer muda untuk berimajinasi soal bagaimana selanjutnya dia harus berkarya, meningkatkan kualitas, dan kemudian mampu hidup dan terus berkembang dengan karya-karya tersebut.

Tidak ada solusi yang akhirnya diputuskan oleh forum, karena memang forum ini tidak semata-mata untuk mencari solusi. Tetapi berdasarkan hasil diskusi ada beberapa hal yang kami petakan menjadi kegelisahan terbesar bagi para koreografer muda di Jogja khususnya, yang mungkin kemudian berimbas pada kualitas karya.
1) Entertain VS Art for Art
Yang dimaksud disini adalah, para koreografer muda masih belum merasa cukup bisa fokus dalam karya idealis dengan proses panjang, karena terkait ekonomi. Memiliki latar belakang pendidikan tari, tentu para koreografer muda tersebut memiliki lahan pekerjaan dalam bidang pertunjukan yang sifatnya entertain, ditambah dengan desakan ekonomi yang memang harus terus berputar, para koreografer muda tidak memiliki cukup waktu dan bahkan dana untuk berproses dengan riset artistik yang benar, proses panjang, kemudian dipentaskan atas nama grup pribadi.
2) Continuitas
Ini masih terkait dengan persoalan nomer 1), keadaan tersebut memang kemudian berpengaruh terhadap continuitas latihan dan proses pencarian. Karena memang kondisinya di Indonesia demikian, belum cukup banyak dance grup/ dance company yang mapan secara ekonomi jika tidak ditunjang dengan karya di ranah entertain.
3) Mencapai kualitas untuk Festival
Ini menjadi satu masalah juga yang terlontar dari para koreografer muda dalam forum tersebut. Mengapa tidak banyak koreografer muda di Jogja yang dapat menembus festival tari terutama yang memiliki sistem kuratorial. Ada beberapa hal selain kualitas karya yang kemudian mempengaruhi ini, salah satunya adalah para koreografer muda masih jarang berkarya dalam ranah Art for Art kecuali ketika tugas koreografi di kampus, kemudian tidak banyak koreografer muda yang menyebarkan karyanya dalam bentuk video di youtube atau vimeo misalnya. Hal ini terkait jarak antara Jogja dengan kota-kota yang mengadakan festival kelas satu di Indonesia maupun di luar negeri memang cukup jauh, akan sulit kita ditemukan tanpa berusaha eksis. Salah satu usaha untuk eksis (dalam berkarya) adalah dengan menunjukkan karya-karya kita di berbagai media sosial terutama dalam bentuk dokumentasi video, yang memungkinkan untuk dilihat oleh orang lain dalam jarak jauh.
4) Audience
Kegelisahan soal audience menjadi perbincangan yang cukup menarik dalam forum ini, banyak teman-teman yang risau bagaimana kemudian tari yang berbicara lewat tubuh dapat membuat penonton mengerti tentang apa yang disampaikan.
5) Riset Artistik
Riset artistik menjadi bahasan yang menarik, karena sebagian besar dari koreografer muda memang merasa membutuhkan wacana mengenai hal ini. Banyak yang kemudian mengetahui teorinya, tetapi ketika berpraktek terkkait riset artistik mereka merasa gagap dan tidak menemukan banyak hal. Jadi, workshop soal riset artistik menjadi salah satu kebutuhan yang dilontarkan oleh partisipan dalam forum tersebut.
6) Wacana VS Tekhnik
2 hal ini memang tidak pernah ada habisnya, pertanyaannya kemudian, mengapa 2 hal ini tidak saling melengkapi saja dalam berkarya? Bahkan, tekhnik tari sendiri bisa menjadi wacana tanpa ada isu.
7) Kedalaman karya
Kedalaman karya ini kemudian terkait dengar riset artistik yang tadi telah dijelaskan sebelumnya. Banyak koreografer muda, juga teman-teman yang menjadi penampil showcase merasa punya ide soal karya, tapi ketika karya sudah jadi masih kurang dalam, hanya permukaan saja.

Dari hasil-hasil pemetaan tersebut, mungkin akan ada follow up dengn format lain, yang diharapkan dapat membantu kita menjawab masalah-masalah ini secara kontekstual dan reflektif, berdasarkan pengalaman dan budaya yang sudah terbentuk di lingkungan kita, para koreografer muda khususnya di Yogyakarta.


Nia Agustina
Manajer Program Paradance Festival
Founder of Project Matematarika
niaparadance@gmail.com

Sabtu, 08 Oktober 2016

AYU PERMATASARI’S FEMINISM IN HAH



(Ayu Permatasari)

The sound of breath and sigh heard, even before the dancers entering the stage, brought the audience to seek and wonder: what, who, what is it. A few minutes later, 8 female dancers with white costumes came into the spotlight and dance, still with their audible breaths and sighs exaggerated into expressions of fear/shock, the sound one makes when eating a food that is too spicy, the sound of a mother giving birth, the sound of people marching, etc.  Sound and movement are the show’s strongest attributes, as Ayu Permatasari manages to somehow create a beautiful arrangement out of the seemingly inharmonious sounds coming from the dancers. No dancer was weaker than the other one, as their movements, just as Ayu’s previous works, show great energy, power and shapes that are just as strong.


There is no doubt that Ayu Permatasari is indeed one of the choreographers that possess a strong, hard and disciplined attitudes. Yet, her works are always able to generate a sense of innocence, despite actually having a deeper meaning that relates to her life journey; and HAH is no exception.
When creating HAH, Ayu was inspired by the sound of breath that we hear every day, but more specifically, she was subconsciously inspired by the breath of Kotabumi, Lampung, where she was born and raised as a woman. The main theme of HAH, therefore, is the representation of the story and experience of a woman named Ayu Permatasari, which, in a sense, can be interpreted as Ayu Permatasari’s idea of feminism. Certainly, the feminism theme does not only concern the fact that Ayu is a woman, but talking about feminism means talking about women; which means that Ayu’s feminism concerns very much with her experience as a woman.

Back in her hometown, Ayu was raised by a strict and rough father who “worked” as the local thug. Her memories with her father are sometimes revealed in many of her works, including HAH.  The way she was raised, in addition to the town’s background of being dominated by tough women (according to her), affects Ayu’s thoughts on the different ideas of what it means to be a woman.
The whole work of HAH may seem innocent with the form and combination of movement patterns and sound inspired by breath, but more than that, in each movement, the breath can sound firm, strong, tough, and hard, yet other times it can be subtle, supple, and sexy. These impressions represent the definition of a woman to Ayu. Women can be strong, but at times, they can be soft, supple, and fragile. Their strength, toughness, and vigor do not mean that they want to compete with men; instead, they show willingness to be their own self, to pursue their own desire, without deserting their womanly experience and story.  
Strong into subtle, soft to hard, and supple to tough; all becomes harmony in the body of a woman as portrayed in HAH. It’s not just a breath of air, it’s the breath of women, it’s the breath of Ayu Permatasari’s history, and it is HAH.


Author: Nia Agustina
Translator: Eka Wahyuni 
If you have any information about photographer's name who takes all of picture above, you can contact me at 08562571022 (WA/Line only)