Tampilkan postingan dengan label panggung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label panggung. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Maret 2018

Catatan Menonton Pertunjukan Mother Earth: PERTUNJUKAN TARI, KOLABORASI, DAN PUBLIK


Foto by: @shegitejogja
Bagian Pertama, Menggambarkan Kehamilan
Slide demi slide pra pertunjukan tayang satu persatu di atas panggung Mother Earth malam itu. Sambil menunggu penonton yang berjubel di gedung PKKH dapat menikmati karya foto yang memang digarap khusus untuk project Mother Earth oleh Rio Paraoh dari Violet Eyes Photography. Sebagai bayangan visual, di bagian belakang panggung dibentangkan kain sepanjang panggung untuk keperluan proyeksi visual baik foto, video, maupun video mapping. Seisi panggung dipenuhi dedaunan berserak.  Alih-alih menggunakan satu level panggung, tim panggung Mother Earth memilih setting panggung yang terkesan seperti tangga dengan beberapa level.
Pertunjukan akhirnya dimulai dengan diputarnya video beberapa menit karya  Yugo Risfriwan yang  tentu diharapkan menggambarkan ide Mother Earth. Dilanjutkan dua orang performer yang tidak lain adalah Mila Rosinta dan Luise Najib memasuki panggung. Mereka berjalan perlahan diikuti oleh mapping video karya Kokoksaja. Mila dari kanan panggung dan Luise dari kiri panggung, sampai mereka bertemu di tengah dan duduk kemudian menyenandungkan macapat bersama. Baik Mila dan Luise, keduanya mengenakan bantal di bagian perut sebagai kesan kehamilan, disusul 4 penari yang masuk ke panggung dengan bentuk perut besar yang sama.
Luise dan Mila menari bersama 4 penari lainnya dengan berbagai komposisi dalam beberapa bagian. Bagian 1, tentang perjuang ibu dari hamil hingga melahirkan. Di beberapa menit terakhir Luise keluar dari komposisi dan bermain-main dengan looping device di samping panggung. Suara yang dihasilkan looping device, menjadi salah satu iringan sampai lantunan piano dari Gardika Gigih masuk memenuhi ruangan. Bagian 2 menceritakan tentang keegoisan ibu yang kadang-kadang muncul sebagai bentuk kelelahan dan keinginan untuk mengejar mimpi yang lebih sulit dikejar ketika memiliki anak. Bagian terakhir adalah perasaan penyesalan si ibu atas keegoisannya, serta pesan bahwa kasih sayang ibu akan selalu mengalir. Dan keseluruhan pertunjukan diakhiri dengan apik oleh lagu Winter Fault yang dinyanyikan sekaligus diciptakan oleh Luise Najib, diiringi lantunan piano oleh Gardika Gigih.

Antusiasme Publik
Malam itu saya terburu-buru berjalan dari parkiran ke dalam gedung PKKH UGM. Dalam poster yang tersebar di berbagai media sosial dan massa, pertunjukan Mother Earth seharusnya dimulai pukul 18.30. Namun, saat saya datang pukul 19.00 antrian di meja tiket masih sangat panjang. Usut punya usut mereka adalah waiting list yang menunggu tiket tersisa, atau tiket yang tidak jadi diambil oleh si empunya. Wah, bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam gedung, jika di meja tiket saja yang mengantre sebanyak ini. Ternyata benar dugaan saya, ruang penonton full, bahkan hingga tribun lantai 2.
 Fenomena ini menjadi menarik, sementara pertunjukan tari yang lain biasanya penikmat terbanyaknya adalah sesama seniman tari, malam itu semua orang dengan berbagai latar belakang tumpah ruwah di gedung PKKH, bahkan dikabarkan mencapai 1000 penonton ditambah kurang lebih 150 waiting list. Lucunya seusai pentas, beberapa teman bertanya, bagaimana menurut saya pertunjukan Mother Earth malam ini. Terkait kualitas karya, kelebihan, kritik, dan lain-lain kita bahas nanti, tentu soal ini kita harus mengendapkan pikiran dan perasaan-perasaan yang muncul ketika menonton memilah dan memilih serta menonton referensi yang lain, baru kemudian secara dewasa dapat membicarakannya. “Namun mau tidak mau, suka tidak suka kita harus berterimakasih kepada pertunjukan Mother Earth ini,” Jawab saya kemudian.
Jawaban saya tentu berdasar, tapi apakah dasar saya kuat, silahkan dicek kembali ya...jangan terlalu gampang percaya di zaman banyak hoax macam sekarang. Dalam platform Curator Academy di Singapura, Januari 2018 lalu, saya menemukan hal terkait pentingnya imajinasi soal publik. Imajinasi soal publik ini tentu dipengaruhi banyak hal yang spektrumnya sangat luas. Misal ketika saya mendapatkan kesempatan mengobservasi TPAM (Tokyo Performing Art Meeting di Yokohama), Februari 2017, ketika ada kesempatan berdiskusi dengan sang Direktur, Hiromi Maruoka, salah satu yang ditekankan adalah bahwa memang TPAM ini bukan untuk masyarakat umum. TPAM adalah tempat bertemunya seniman dengan seniman, seniman dengan kurator, kurator dengan kurator, seniman dengan produser, produser dengan dramaturg, dan lain-lain. Segmented. Sehingga pertunjukannya cenderung diskursif.
Sebelum pertunjukan Mother Earth berlangsung, saya sempat ngobrol dengan Mila, dan Mila sendiri mengatakan bahwa pertunjukan ini dipersembahkan untuk para ibu dan supaya orang-orang dapat menghargai perjuangan ibu. Dalam pernyataan ini tentu tersirat bahwa lebih baik yang menonton pertunjukan ini publik seluas-luasnya, sehingga pertunjukan ini dapat menyampaikan pesan kepada sebanyak-banyaknya orang. Dan seperti yang saya tuliskan sebelumnya memang penontonnya sangat beragam dalam jumlah yang banyak, sehingga tentu tim produksi yang juga didukung popularitas kolaborator berhasil dalam hal ini. Kemudian, kenapa saya mengatakan harus berterimakasih kepada pertunjukan ini, karena pertunjukan ini sudah membantu kita membuka gerbang yang terkunci rapat, bahkan orang mau mengintip saja sungkan, takut nggak mudeng, apalagi kalau udah beli tiket tapi nggak mudeng sama pertunjukannya. Tentu soal hal ini, kita tidak boleh tidak mengakui harus belajar banyak dari tim Mother Earth.

Tonil Jaman Now
Foto by: @shegitejogja
Kendi Sebagai Simbol Rahim
Melihat layar putih dibentang di bagian belakang panggung sebagai ruang proyeksi digital art pendukung pertunjukan, saya tiba-tiba teringat tonil. Dari arsip.tembi.net, tonil pada intinya berupa lukisan besar latar tempat (keraton, hutan, dll) yang dapat digelar dan digulung dengan roda/roll yang dapat disusun urutannya sesuai dengan adegan yang direncanakan. Meskipun dalam pertunjukan Mother Earth kali ini proyeksi digital art tidak semata-mata sebagai latar tempat, bahkan tidak sama sekali, karena lebih ke bentuk grafis, simbol, dan interaktif. Namun seharusnya efek kehadiran digital art sudah seharusnya mendukung cerita, layaknya tonil yang memberi clue dimanakah dialog ini dilakukan, kemudian memperkuat suasana. Apakah dalam pertunjukan Mother Earth tidak terjadi demikian?
Saya menjadi teringat pertunjukan yang pernah saya lihat di kanal youtube sekitar setahun lalu berjudul HAKANAI yang dikonsep oleh Adrien Mondot (Ilmuwan komputer dan pesulap) dan Claire Bardaine (Desainer grafis dan digital scenographer) dengan penari solo Akiko Kajihara. Pertunjukan ini terjadi sekitar tahun 2014, di Montreal. Dalam pertunjukan ini terlihat Akiko menari bersama digital art dan begitupun sebaliknya digital art menari bersama Akiko. Pertunjukan lain yang dikonsep oleh Adrien Mondot dan Claire Bardaine setelahnya juga demikian, digital art yang mereka bangun tidak akan berbicara apapun jika penari tidak bergerak, begitupun sebaliknya, penari yang bergerak tidak akan berbicara apapun jika digital art dihilangkan.
Foto by @shegitejogja
Digital Art Interaktif

Pada bagian pertama adegan hamil hingga sebelum melahirkan, jika digital art dihilangkan penonton akan tetap paham bahwa ini adalah adegan perjuangan ibu hamil dan unsur dramatiknya juga tetap bisa ditangkap, namun di adegan terakhir, ketika Luise Najib menyanyikan Winter Fault memang interaksi antara digital art dan performer menjadi hidup begitupun unsur dramatiknya menjadi meningkat. Secara keseluruhan tentu kolaborasi ini sangat menarik dan cukup baru, khususnya di Jogja, meskipun seperti yang saya contohkan sebelumnya, pementasan berjudul HAKANAI pada tahun 2014 sudah menggunakan digital art.
Karena ini hal baru, khususnya di Jogja, mungkin di Indonesia pada umumnya, mungkin inilah kesempatan bagi tim Mother Earth untuk terus mengeksplorasi kolaborasi antara tari dan digital art ini, sembari melihat sebanyak-banyaknya referensi. Karena saya dengar project ini tidak hanya akan berhenti sampai pertunjukan tanggal 13 Maret 2018 lalu.

Kolaborasi  khas Jogja
Hal  lain terkait pertunjukan, saya merasa masih butuh waktu untuk belajar lebih banyak lagi sehingga tidak tumpang tindih soal selera yang sangat personal dengan fenomena yang saya hadapi. Juga soal konsep dan latar belakang karya sudah saya tuliskan sebelumnya di http://gelaran.id/mother-earth/  (monggo disimak, bagi yang ingin). Jadi untuk yang terakhir saya justru akan lebih senang untuk menyoroti proses kolaborasi yang terjadi di Mother Earth Project. Mila sendiri mengatakan bahwa semua kolaborator (Mila Rosinta x Luise najib x Gardika Gigih x Lia Pharaoh x Jenny Subagyo x Manda Baskoro x Yugo Risfriwan x Rio Pharaoh X Kokoksaja) dalam pertunjukan ini adalah sahabatnya atau teman yang pernah bekerja bersama sebelumnya. Mereka sering bertemu, ngobrol, dan bekerja bersama namun belum pernah berkarya bersama.
Dengan modal persahabatan ini, Mila berinisiatif supaya pertemanan ini bukan sekedar kesana kemari bersama, tetapi juga menjadi energi untuk berkarya bersama. Nyatanya, jika pertunjukan ini tidak menggunakan kesadaran atas pertemanan dan saling bergotong royong secara organik, berapa banyak materi yang harus dikeluarkan, misal jika semua dihitung, koreografer, penari, make up artist, desainer kostum, hair stylist, dokumentasi, visual/digital artist belum termasuk crew produksi dan stage, termasuk sponsor. Jogja memang punya kelebihan demikian, masih bisa bertemu banyak orang yang memiliki passion untuk berkarya tanpa pamrih. Istimewa. 
Seperti dalam Islam kita mengenal nasehat jika ingin soleh ya berkumpullah dengan orang soleh, ini berlaku dalam semua lini kehidupan, jika ingin terus berkarya ya berkumpullah dengan orang-orang yang punya keinginan dan passion untuk berkarya. Untuk apa? Untuk saling menguatkan, menyemangati, mendukung, membantu. Ya...di Jogja memang masih demikian. Bagaimana dengan kota-kota lain? Saya sendiri masih belum bisa memastikan sembari menganalisis pelan-pelan.

Jumat, 30 Desember 2016

CATATAN JIPA 2016: Jogja Imaginary Performing Arts



2016, JIPA berlangsung dengan format tidak seperti biasanya. JIPA yang sebenarnya merupakan akronim dari Jogja International Performing Arts, bertransformasi menjadi Jogja Imaginary Performing Arts. Mungkin hanya tahun ini saja, atau mungkin akan berlanjut ke tahun-tahun berikutnya? Tidak ada yang tahu.

Berkolaborasi antara Jaran Art Space, Mila Art Dance, Sanggar Seni Kinanti Sekar, Ayu Permata Dance Company, Paradance Festival, Kawung Art Culture and Wisdom serta Galih Puspita Dance Grup, kami mencoba membuat JIPA yang kebetulan berada di penghujung tahun menjadi jawaban atas kebutuhan para kreator dan seniman tari muda di Yogyakarta. Kebutuhan semacam apa? tentu saja kami bisa salah duga. Kami rasa Yogyakarta adalah surganya event tari/ wadah tari, tetapi kering edukasi, terutama bagi para kreator dan seniman tari kontemporer. Banyak seniman muda Jogja yang berkarya di ranah tari kontemporer, tapi dinamika kualitasnya masih sangat lamban. Dengan alasan itu, akhirnya JIPA 2016 memutuskan untuk membuat acara yang formatnya kekeluargaan dan hangat yaitu "Gathering to Sharing" yang sudah terjadi pada 27 dan 28 Desember 2016 lalu.

Gathering to Sharing ini menghadirkan 4 penampil showcase yang kemudian didiskusikan dan diberi masukan (karena keempatnya adalah karya onprogress), kemudian ada sesi menonton dan ngobrol-ngobrol terkait 4 video dokumentasi pertunjukan tari: Cloud Gate-Moon Water, Gumarang Sakti-Karya Boy G Sakti untuk FKY 2003, Tao Dance Theatre - <<6>>, dan Anna Teresa de Keersmaeker - Fase. Sesi diskusi dan ngobrol tersebut sebenarnya tidak semata-mata untuk mencari tahu biografi koreografer dan karyanya (karena tidak ada narasumber di forum ini), tetapi lebih kepada membayangkan prosesnya, kemudian mencari celah kegelisahan sekaligus apa yang bisa dilakukan untuk perkembangan tari kontemporer sesuai kebutuhan forum. Jogja Imaginary Performing Arts (JIPA) 2016 ini mencoba memberi ruang bagi para koreografer muda untuk berimajinasi soal bagaimana selanjutnya dia harus berkarya, meningkatkan kualitas, dan kemudian mampu hidup dan terus berkembang dengan karya-karya tersebut.

Tidak ada solusi yang akhirnya diputuskan oleh forum, karena memang forum ini tidak semata-mata untuk mencari solusi. Tetapi berdasarkan hasil diskusi ada beberapa hal yang kami petakan menjadi kegelisahan terbesar bagi para koreografer muda di Jogja khususnya, yang mungkin kemudian berimbas pada kualitas karya.
1) Entertain VS Art for Art
Yang dimaksud disini adalah, para koreografer muda masih belum merasa cukup bisa fokus dalam karya idealis dengan proses panjang, karena terkait ekonomi. Memiliki latar belakang pendidikan tari, tentu para koreografer muda tersebut memiliki lahan pekerjaan dalam bidang pertunjukan yang sifatnya entertain, ditambah dengan desakan ekonomi yang memang harus terus berputar, para koreografer muda tidak memiliki cukup waktu dan bahkan dana untuk berproses dengan riset artistik yang benar, proses panjang, kemudian dipentaskan atas nama grup pribadi.
2) Continuitas
Ini masih terkait dengan persoalan nomer 1), keadaan tersebut memang kemudian berpengaruh terhadap continuitas latihan dan proses pencarian. Karena memang kondisinya di Indonesia demikian, belum cukup banyak dance grup/ dance company yang mapan secara ekonomi jika tidak ditunjang dengan karya di ranah entertain.
3) Mencapai kualitas untuk Festival
Ini menjadi satu masalah juga yang terlontar dari para koreografer muda dalam forum tersebut. Mengapa tidak banyak koreografer muda di Jogja yang dapat menembus festival tari terutama yang memiliki sistem kuratorial. Ada beberapa hal selain kualitas karya yang kemudian mempengaruhi ini, salah satunya adalah para koreografer muda masih jarang berkarya dalam ranah Art for Art kecuali ketika tugas koreografi di kampus, kemudian tidak banyak koreografer muda yang menyebarkan karyanya dalam bentuk video di youtube atau vimeo misalnya. Hal ini terkait jarak antara Jogja dengan kota-kota yang mengadakan festival kelas satu di Indonesia maupun di luar negeri memang cukup jauh, akan sulit kita ditemukan tanpa berusaha eksis. Salah satu usaha untuk eksis (dalam berkarya) adalah dengan menunjukkan karya-karya kita di berbagai media sosial terutama dalam bentuk dokumentasi video, yang memungkinkan untuk dilihat oleh orang lain dalam jarak jauh.
4) Audience
Kegelisahan soal audience menjadi perbincangan yang cukup menarik dalam forum ini, banyak teman-teman yang risau bagaimana kemudian tari yang berbicara lewat tubuh dapat membuat penonton mengerti tentang apa yang disampaikan.
5) Riset Artistik
Riset artistik menjadi bahasan yang menarik, karena sebagian besar dari koreografer muda memang merasa membutuhkan wacana mengenai hal ini. Banyak yang kemudian mengetahui teorinya, tetapi ketika berpraktek terkkait riset artistik mereka merasa gagap dan tidak menemukan banyak hal. Jadi, workshop soal riset artistik menjadi salah satu kebutuhan yang dilontarkan oleh partisipan dalam forum tersebut.
6) Wacana VS Tekhnik
2 hal ini memang tidak pernah ada habisnya, pertanyaannya kemudian, mengapa 2 hal ini tidak saling melengkapi saja dalam berkarya? Bahkan, tekhnik tari sendiri bisa menjadi wacana tanpa ada isu.
7) Kedalaman karya
Kedalaman karya ini kemudian terkait dengar riset artistik yang tadi telah dijelaskan sebelumnya. Banyak koreografer muda, juga teman-teman yang menjadi penampil showcase merasa punya ide soal karya, tapi ketika karya sudah jadi masih kurang dalam, hanya permukaan saja.

Dari hasil-hasil pemetaan tersebut, mungkin akan ada follow up dengn format lain, yang diharapkan dapat membantu kita menjawab masalah-masalah ini secara kontekstual dan reflektif, berdasarkan pengalaman dan budaya yang sudah terbentuk di lingkungan kita, para koreografer muda khususnya di Yogyakarta.


Nia Agustina
Manajer Program Paradance Festival
Founder of Project Matematarika
niaparadance@gmail.com

Sabtu, 08 Oktober 2016

AYU PERMATASARI’S FEMINISM IN HAH



(Ayu Permatasari)

The sound of breath and sigh heard, even before the dancers entering the stage, brought the audience to seek and wonder: what, who, what is it. A few minutes later, 8 female dancers with white costumes came into the spotlight and dance, still with their audible breaths and sighs exaggerated into expressions of fear/shock, the sound one makes when eating a food that is too spicy, the sound of a mother giving birth, the sound of people marching, etc.  Sound and movement are the show’s strongest attributes, as Ayu Permatasari manages to somehow create a beautiful arrangement out of the seemingly inharmonious sounds coming from the dancers. No dancer was weaker than the other one, as their movements, just as Ayu’s previous works, show great energy, power and shapes that are just as strong.


There is no doubt that Ayu Permatasari is indeed one of the choreographers that possess a strong, hard and disciplined attitudes. Yet, her works are always able to generate a sense of innocence, despite actually having a deeper meaning that relates to her life journey; and HAH is no exception.
When creating HAH, Ayu was inspired by the sound of breath that we hear every day, but more specifically, she was subconsciously inspired by the breath of Kotabumi, Lampung, where she was born and raised as a woman. The main theme of HAH, therefore, is the representation of the story and experience of a woman named Ayu Permatasari, which, in a sense, can be interpreted as Ayu Permatasari’s idea of feminism. Certainly, the feminism theme does not only concern the fact that Ayu is a woman, but talking about feminism means talking about women; which means that Ayu’s feminism concerns very much with her experience as a woman.

Back in her hometown, Ayu was raised by a strict and rough father who “worked” as the local thug. Her memories with her father are sometimes revealed in many of her works, including HAH.  The way she was raised, in addition to the town’s background of being dominated by tough women (according to her), affects Ayu’s thoughts on the different ideas of what it means to be a woman.
The whole work of HAH may seem innocent with the form and combination of movement patterns and sound inspired by breath, but more than that, in each movement, the breath can sound firm, strong, tough, and hard, yet other times it can be subtle, supple, and sexy. These impressions represent the definition of a woman to Ayu. Women can be strong, but at times, they can be soft, supple, and fragile. Their strength, toughness, and vigor do not mean that they want to compete with men; instead, they show willingness to be their own self, to pursue their own desire, without deserting their womanly experience and story.  
Strong into subtle, soft to hard, and supple to tough; all becomes harmony in the body of a woman as portrayed in HAH. It’s not just a breath of air, it’s the breath of women, it’s the breath of Ayu Permatasari’s history, and it is HAH.


Author: Nia Agustina
Translator: Eka Wahyuni 
If you have any information about photographer's name who takes all of picture above, you can contact me at 08562571022 (WA/Line only)

Sabtu, 12 Desember 2015

KONSTRUKSI DALAM MELINTAS

Melintas, Menyudutkan yang Tak Tersudut. Itulah judul peristiwa tari pada tanggal 11 November 2015 yang dimulai pukul 19.30 di gedung PKKH UGM. Dalam acara yang diinisiasi oleh IDF dan tentunya PKKH UGM ini, terdapat 3 karya yang disajikan. karya berjudul “Pintu Menusia” karya Ari Ersandi, “Touch” karya Hanny Herlina, dan “Layang-layang” karya Bagong Kussuadiardja.

Saya akan mereview karya-karya berdasarkan keseluruhan atau kesatuan utuh peristiwa, sehingga dengan sendirinya setiap karya akan terbahas secara alami. Melintas, Menyudutkan yang Tak Tersudut, judul yang menarik dan cukup menggelitik, mengapa? Sebelumnya saya akan memberikan sedikit kesan saya ketika menonton peristiwa ini. Saya benar-benar menemukan kesan yang ajaib, ketika melihat  ketiga karya tersebut memiliki kesatuan yang pastinya tidak disengaja, karena mereka berproses masing-masing. Kesatuan tersebut bernama KONSTRUKSI.

Kemudian ada pertanyaan lagi, kenapa bisa konstruksi? Apa alasannya? Akan saya bahas satu persatu. Karya pertama, berjudul “Pintu Menusia” dengan koreografer dan sekaligus menjadi penarinya adalah Ari Ersandi. Ari Ersandi sempat menjelaskan bahwa karyanya tidak berbicara tentang satu alur cerita, tetapi hanya tubuh tari. Bisa diterima, tapi bagi saya lebih dari itu, Ari mencoba menyajikan suatu konstruksi  tubuh tari Ari bagi para penari yang ketubuhannya tentu tidak sama dengan Ari. Terlihat pada bagian pertama ada beberapa gerakan yang cukup sering digunakan dalam tubuh Ari, kemudian ditransfer ke dalam tubuh-tubuh yang bukan Ari. Tidak akan sama memang, bahkan unik, karena dengan gerakan yang sama memiliki impact visual maupun rasa yang berbeda. Dari sini terlihat bahwa Ari memberikan kesempatan bagi para penarinya untuk merekonstruksi tubuh Ari ke dalam dirinya dengan berbagai “kecacatan” yang justru menjadi keberagaman tubuh tari yang tak terduga dan bahkan menjadi kekuatan penting dalam pementasan ini. Pada bagian tengah Ari menari solo. Saya merasakan hal yang sama seperti yang MC katakan pada saat itu, saya tidak melihat Ari Ersandi yang selama ini saya kenal, yang saya lihat adalah Ari Ersandi sedang mencoba membuat pondasi kepingan-kepingan tubuhnya yang baru, meskipun masih ada tubuh lama yang tertinggal. Kembali ke pembahasan sebelumnya, Ari sedang membangun konstruksi baru pada tubuhnya.


Anter Asmorotedjo. Anter, merekonstruksi karya ‘Layang-layang’, menyusun ulang serpihan-serpihan bangunan karya Bagong Kussuadiardja melalui tubuhnya. Ini sangat menarik, karena rekonstruksi semacam ini tidak mudah untuk dilakukan. Butuh data-data yang kuat supaya tidak terjadi kesalahpahaman sejarah maupun makna. Tanggung jawab Anter menjadi besar dalam hal ini, karena dia tidak hanya bertanggung jawab atas karya seperti layaknya ketika dia membuat koreografinya sendiri, tetapi dia juga bertanggung jawab atas sejarah. Seperti rekonstruksi ulang candi, bangunan keraton yang sudah runtuh, dan sebagainya, Anter merupakan peneliti, sekaligus arsitek, sekaligus pelaku pembangunan. Tapi tubuh selalu lebuh sulit, karna dia dinamis dan tidak bisa sama persis dari detik ke detik, sedangkan bangunan dia berbentuk tetap dalam waktu yang panjang.

Kedinamisan tubuh juga saya lihat dari karya oleh penampil terakhir, yaitu Hanny Herlina dengan karyanya berjudul ‘Touch’. Meskipun Hanny bercerita bahwa karya ini berpijak pada sentuhan musik, tapi bagi saya Hanny secara sadar maupun tidak, tengah menceritakan bagaimana tubuhnya menjadi konstruksi tubuh yang sekarang. Dia menghadirkan rigging (jika salah tolong koreksi), benda ni sangat lekat kaitannya dengan bangunan dan konstruksi. Hanny menari dengan mata tertutup sembari mencoba berjalan keluar rigging. Dalam proses tersebut, terlihat tubuh Hanny bergerak dengan beberapa tubuh tari, tapi yang terlihat jelas adalah tari Topeng dan Balet. Saya melihat Hanny, dengan sengaja atau tidak, menceritakan, bagaimana proses tubuhnya menjadi konstruksi sekarang. Tubuh Hanny menjadi seperti saat ini karena ‘sentuhan’ dan proses penyusunan sentuhan-sentuhan tersebut menjadi sebuah konstruksi. Walupun pada saat Hanny keluar dari rigging justru saya melihat ‘disorientasi tubuh’ yang sebenarnya merupakan pertanda bahwa pada titik tertentu, konstruksi tubuh Hanny belum menjadi sebuah gedung bertingkat tetapi dua buah gedung, yang pada akhir babak, terjadi proses konstruksi yang menarik, Hanny tidak memindahkan salah satu gedung tubuhnya ke atas gedung yang lain, tetapi membuat sebuah lorong bawah tanah untuk membuat kedua gedung tersebut terkoneksi. Hal ini membuat Hanny dapat berpindah dengan mudah ke gedung pertama dan kedua tanpa harus keluar dari kesatuan konstruksi gedung tersebut.

Disengaja maupun tidak, saya merasakan ketiga karya tersebut memiliki kesatuan kejadian yaitu KONSTRUKSI. Menarik, membaca judul peristiwa ini yaitu Melintas, Menyudutkan yang Tak Tersudut yang sepertinya tidak sesuai dengan Konstruksi, tetapi sebenarnya, melintas merupakan bagian dari sebuah konstruksi. Ketika kita melintas pada suatu benda, orang lain atau apapun itu, pada saat-saat tertentu kita akan menemukan suatu hal yang akan menjadi konstruksi diri kita. Misalnya, kita melintas pada rumah yang berpagar tinggi, sampai-sampai kita melihat tamu yang datang sulit untuk masuk, dalam hati kita merutuk dan kemudian berjanji tidak akan membangun rumah dengan pagar semacam itu, maka melintas di depan rumah yang berpagar, membuat pikiran atau hati kita melintas juga pada suatu prinsip yang menjadi salah satu konstruksi diri kita. Mungkin melintas yang dimaksud disini merupakan gambaran dan harapan supaya tubuh-tubuh penari ini selalu melintas dan kemudian tersudut pada pikiran dan hati penonton, terus menerus, sehingga menjadi salah satu serpihan konstruksi bagi tubuh, hati dan pikiran penonton.
           
Nia Agustina
Paradance Jogja – Project Matematarika
12/11/2015


Foto By: PAMOR DIMENSI IMAGING

Jumat, 12 Desember 2014

PROJECT MATEMATARIKA 2: REFLEKSI

Alhamdulillah, akhirnya karya kedua project matematarika dapat dipentaskan di GLOBAL CULTURE FESTIVAL UNY bersama teman2 dari 30 negara yang lain, dan bersyukurnya lagi kami mendapatkan apresiasi yang positif dari penonton. 

Apa yang kami tampilkan kali ini berasal dari referensi mengenai teori refleksi dalam matematika. Refleksi merupakan suatu transformasi yang secara dasar adalah membalik suatu bentuk tehadap suatu sumbu refleksi (Kanginan & Terzalgi, 2014:     156). Inilah yang menjadi dasar saya sebagi koreografer membuat berbagai ragam gerak dalam tarian ini, selain juga mengadaptasi ragam tari gaya Yogyakarta. Gambar 1 merupakan salah satu ragam dalam karya refleksi ini.
Gambar 1
Tari Refleksi, karya Nia Agustina


Mungkin, banyak sekali penari memasukkan ragam2 di atas pada karyanya. Tetapi mungkin tidak banyak yang menyengaja membuatnya karena terinspirasi oleh teori refleksi dalam matematika. Maka, hal ini pulalah yang membuat saya termotivasi untuk menyelesaikan karya ini, Mungkin untuk dapat lebih jelas melihat dimana refleksinya, maka akan saya berikan gambar berikut.
Gambar 2
Tari Refleksi dalam Bidang Koordinat (Refleksi terhadap sumbu Y)




Gambar di atas merupakan penjelasan bagaimana bentuk refleksi dalam tarian ini, karena titik A, B, C pada titik2 tubuh penari pertama (Caprina Puspita) direfleksikan terhadap sumbu Y sehingga menghasilkan bayangan yaitu titik A', B', dan C' pada tubuh penari kedua (Shelly Ratri).


Seperti itulah penjelasan singkat saya mengenai karya kedua PROJECT MATEMATARIKA, untuk informasi lebih lanjut mengenai grup ini, anda dapat menghubungi saya di nomor 08562571022. Semoga ulasan ini bermanfaat dan menambah inspirasi pembaca sekalian. :)


Judul Tari: Refleksi

Koreografer: Nia Agustina, twitter @paradanceyk
Penari: Nia Agustina, Shelly Ratri, Caprina Puspita, Sabilla Azka

Refensi: 
Kanginan, Marthen & Terzalgi, Yuza. (2014). Matematika untuk SMA-MA/SMK Kelas XI. Bandung: Srikandi Empat Widya Utama.