Jumat, 04 Agustus 2017

MEMAKNAI KEMBALI BUSANA DALAM NGADI SALIRA

Galih Puspita, seorang koreografer yang saya lihat konsisten bercengkrama dengan bentuk-bentuk ritual kejawen dalam setiap karya-karyanya. Ritual disini tidak semata-mata bentuk fisik/lahiriah, tetapi terkadang dia mengolah bentuk batiniah sedang secara lahiriah karyanya sudah terbalut modernitas dengan bentuk yang lebih kontemporer, Dalam PARADANCE #13 Galih kembali memaknai salah satu hal penting dalam budaya masyarakat Jawa, busana. Ngadi Salira, karya tari ini, menurut Galih, bercerita tentang seorang yang bercengkerama dengan busananya. Bagaimana busana dapat menjadi sebuah batas positif, pencipta karakter dan penuntun ke arah mana akan berjalan.

Galih memulai Ngadi Salira dengan berjalan ke dalam area panggung dengan perlahan, kemudian meletakkan cunduk mentul. Di sebelah cunduk mentul dia letakkan stagen, stagen tersebut dibuka memanjang menyudut 45 derajat, kemudian diambilnya jarik yang dia letakkan persis setelah ujung stagen, dia juga membuka jarik tersebut, dan terakhir dia menata kebaya di bawah cunduk mentul. Semua hal itu dia lakukan dengan santai tidak terburu-buru dan tidak banyak distilisasi, ya meletakkan dan menata seperti biasa, tanpa iringan. Setelah semua selesai ditata, iringan mulai terdengar dan Galih mulai bergerak dengan posisi persis di dekat kebaya, gerakan-gerakan yang diperlihatkan saya rasa memperlihatkan kebebasan sekaligus keterbelengguan, tetapi mungkin juga Galih sedang berdialog dan bernegosiasi dengan dirinya dan busananya. Beberapa menit setelah itu Galih berpindah dengan jalan seperti biasa ke arah jarik dan bergerak di sana dengan bentuk-bentuk dan tempo gerakan yang sama, dengan energi gerak tari klasik gaya Yogyakarta yang "mbanyu mili" tetapi mengambil gerakan improvisasi yang sama sekali bukan tari klasik gaya Yogyakarta, Galih mampu terlihat anggun sekaligus mistis di saat yang sama. Menit keenam Galih mulai berbaring dan mengguling perlahan di atas jarik, dilanjutkan stagen, kemudian dia duduk dan bergerak mengambil kebaya, mengenakannya, dan terakhir cunduk mentul.

Foto from instagram: @satriaatasangin 

Meski pada akhirnya Galih memang tidak 100% berhasil secara rapih memakai busana kebaya lengkap dengan jarik dan stagen, tetapi point pentingnya adalah bagaimana Galih membuat pilihan artistik atas pertunjukannya, seperti dia menggunakan busana dengan cara yang tidak seharusnya, dengan cara tidur dan menggulingkan tubuhnya di atas busana yang ingin dia pakai. Galih sendiri pernah bercerita bahwa pilihan ini tidak semata-mata urusan artistik, tetapi untuk kembali menggali memori pengalaman awalnya menggunakan busana ini, kesulitan karena detailnya cukup banyak dan cara penggunaan yang harus menaati pakem yang ada. Diharapkan penonton juga menangkap pengalaman tersebut.

Kebaya dan kelengkapannya secara simbolis menyimpan nilai-nilai moral dan filosofis. Kebaya sendiri melambangkan kepribadian perempuan Jawa yang patuh, lemah lembut, dan halus. Kain jarik yang menutup dengan ketat bagian bawah memiliki arti bahwa wanita merupakan sosok yang bisa menjaga kesucian dirinya serta tidak mudah menyerahkan diri kepada siapapun. Sementara stagen berfungsi sebagai perlambang perempuan yang mampu menyesuaikan diri. Dengan memakai kebaya dan kelengkapannya, secara otomatis peempuan akan berlaku lebih terbatas tanpa diperintah, mereka akan sangat sulit duduk jegang karena jarik melilit ketat (dengan catatan penggunaan masih sesuai pakem). kemudian akan duduk dengan punggung tegak, karena stagen melilit erat. Bisa dibandingkan dengan seseorang yang menggunakan celana dan kaos oblong, dia bisa bergerak bebas, duduk dengan bebas.

Maka, pakaian atau busana memang menciptakan karakter tertentu pada saat dia dikenakan, secara otomatis memberi batasan-batasan tertentu. Ya seperti penjelasan Galih atas karyanya bahwa busana dapat menjadi sebuah batas positif, pencipta karakter dan penuntun ke arah mana akan berjalan. Tapi saya secara pribadi kurang setuju soal batas positif, perlu dikaji kembali soal ini, kadang-kadang batas juga mampu berbalik menjadi hal yang negatif, dominasi, posesifitas, dan kendali yang berlebihan. Kemudian penuntun jalan, bisa jadi, ketika anda menggunakan pakaian punk, pakaian itu akan menuntun jalan anda menuju kehidupan punk misalnya. Maka pilihan busana menjadi penting untuk memperlihatkan siapa diri kita, bukan semata untuk kecantikan, trend, dan #ootd di media sosial. Busana yang anda pakai adalah refleksi pertama dari siapa diri anda. Mungkin Galih perlu melakukan kajian soal busana Jawa lebih detail lagi, melakukan riset soal ini dengan metode tertentu, mendekati dengan teori feminis atau berkolaborasi dengan desainer fashion, terdengar menarik dan potensial.

Bagi yang ingin melihat karya Galih Puspita, silahkan klik link di bawah ini:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar