Sabtu, 12 Desember 2015

KONSTRUKSI DALAM MELINTAS

Melintas, Menyudutkan yang Tak Tersudut. Itulah judul peristiwa tari pada tanggal 11 November 2015 yang dimulai pukul 19.30 di gedung PKKH UGM. Dalam acara yang diinisiasi oleh IDF dan tentunya PKKH UGM ini, terdapat 3 karya yang disajikan. karya berjudul “Pintu Menusia” karya Ari Ersandi, “Touch” karya Hanny Herlina, dan “Layang-layang” karya Bagong Kussuadiardja.

Saya akan mereview karya-karya berdasarkan keseluruhan atau kesatuan utuh peristiwa, sehingga dengan sendirinya setiap karya akan terbahas secara alami. Melintas, Menyudutkan yang Tak Tersudut, judul yang menarik dan cukup menggelitik, mengapa? Sebelumnya saya akan memberikan sedikit kesan saya ketika menonton peristiwa ini. Saya benar-benar menemukan kesan yang ajaib, ketika melihat  ketiga karya tersebut memiliki kesatuan yang pastinya tidak disengaja, karena mereka berproses masing-masing. Kesatuan tersebut bernama KONSTRUKSI.

Kemudian ada pertanyaan lagi, kenapa bisa konstruksi? Apa alasannya? Akan saya bahas satu persatu. Karya pertama, berjudul “Pintu Menusia” dengan koreografer dan sekaligus menjadi penarinya adalah Ari Ersandi. Ari Ersandi sempat menjelaskan bahwa karyanya tidak berbicara tentang satu alur cerita, tetapi hanya tubuh tari. Bisa diterima, tapi bagi saya lebih dari itu, Ari mencoba menyajikan suatu konstruksi  tubuh tari Ari bagi para penari yang ketubuhannya tentu tidak sama dengan Ari. Terlihat pada bagian pertama ada beberapa gerakan yang cukup sering digunakan dalam tubuh Ari, kemudian ditransfer ke dalam tubuh-tubuh yang bukan Ari. Tidak akan sama memang, bahkan unik, karena dengan gerakan yang sama memiliki impact visual maupun rasa yang berbeda. Dari sini terlihat bahwa Ari memberikan kesempatan bagi para penarinya untuk merekonstruksi tubuh Ari ke dalam dirinya dengan berbagai “kecacatan” yang justru menjadi keberagaman tubuh tari yang tak terduga dan bahkan menjadi kekuatan penting dalam pementasan ini. Pada bagian tengah Ari menari solo. Saya merasakan hal yang sama seperti yang MC katakan pada saat itu, saya tidak melihat Ari Ersandi yang selama ini saya kenal, yang saya lihat adalah Ari Ersandi sedang mencoba membuat pondasi kepingan-kepingan tubuhnya yang baru, meskipun masih ada tubuh lama yang tertinggal. Kembali ke pembahasan sebelumnya, Ari sedang membangun konstruksi baru pada tubuhnya.


Anter Asmorotedjo. Anter, merekonstruksi karya ‘Layang-layang’, menyusun ulang serpihan-serpihan bangunan karya Bagong Kussuadiardja melalui tubuhnya. Ini sangat menarik, karena rekonstruksi semacam ini tidak mudah untuk dilakukan. Butuh data-data yang kuat supaya tidak terjadi kesalahpahaman sejarah maupun makna. Tanggung jawab Anter menjadi besar dalam hal ini, karena dia tidak hanya bertanggung jawab atas karya seperti layaknya ketika dia membuat koreografinya sendiri, tetapi dia juga bertanggung jawab atas sejarah. Seperti rekonstruksi ulang candi, bangunan keraton yang sudah runtuh, dan sebagainya, Anter merupakan peneliti, sekaligus arsitek, sekaligus pelaku pembangunan. Tapi tubuh selalu lebuh sulit, karna dia dinamis dan tidak bisa sama persis dari detik ke detik, sedangkan bangunan dia berbentuk tetap dalam waktu yang panjang.

Kedinamisan tubuh juga saya lihat dari karya oleh penampil terakhir, yaitu Hanny Herlina dengan karyanya berjudul ‘Touch’. Meskipun Hanny bercerita bahwa karya ini berpijak pada sentuhan musik, tapi bagi saya Hanny secara sadar maupun tidak, tengah menceritakan bagaimana tubuhnya menjadi konstruksi tubuh yang sekarang. Dia menghadirkan rigging (jika salah tolong koreksi), benda ni sangat lekat kaitannya dengan bangunan dan konstruksi. Hanny menari dengan mata tertutup sembari mencoba berjalan keluar rigging. Dalam proses tersebut, terlihat tubuh Hanny bergerak dengan beberapa tubuh tari, tapi yang terlihat jelas adalah tari Topeng dan Balet. Saya melihat Hanny, dengan sengaja atau tidak, menceritakan, bagaimana proses tubuhnya menjadi konstruksi sekarang. Tubuh Hanny menjadi seperti saat ini karena ‘sentuhan’ dan proses penyusunan sentuhan-sentuhan tersebut menjadi sebuah konstruksi. Walupun pada saat Hanny keluar dari rigging justru saya melihat ‘disorientasi tubuh’ yang sebenarnya merupakan pertanda bahwa pada titik tertentu, konstruksi tubuh Hanny belum menjadi sebuah gedung bertingkat tetapi dua buah gedung, yang pada akhir babak, terjadi proses konstruksi yang menarik, Hanny tidak memindahkan salah satu gedung tubuhnya ke atas gedung yang lain, tetapi membuat sebuah lorong bawah tanah untuk membuat kedua gedung tersebut terkoneksi. Hal ini membuat Hanny dapat berpindah dengan mudah ke gedung pertama dan kedua tanpa harus keluar dari kesatuan konstruksi gedung tersebut.

Disengaja maupun tidak, saya merasakan ketiga karya tersebut memiliki kesatuan kejadian yaitu KONSTRUKSI. Menarik, membaca judul peristiwa ini yaitu Melintas, Menyudutkan yang Tak Tersudut yang sepertinya tidak sesuai dengan Konstruksi, tetapi sebenarnya, melintas merupakan bagian dari sebuah konstruksi. Ketika kita melintas pada suatu benda, orang lain atau apapun itu, pada saat-saat tertentu kita akan menemukan suatu hal yang akan menjadi konstruksi diri kita. Misalnya, kita melintas pada rumah yang berpagar tinggi, sampai-sampai kita melihat tamu yang datang sulit untuk masuk, dalam hati kita merutuk dan kemudian berjanji tidak akan membangun rumah dengan pagar semacam itu, maka melintas di depan rumah yang berpagar, membuat pikiran atau hati kita melintas juga pada suatu prinsip yang menjadi salah satu konstruksi diri kita. Mungkin melintas yang dimaksud disini merupakan gambaran dan harapan supaya tubuh-tubuh penari ini selalu melintas dan kemudian tersudut pada pikiran dan hati penonton, terus menerus, sehingga menjadi salah satu serpihan konstruksi bagi tubuh, hati dan pikiran penonton.
           
Nia Agustina
Paradance Jogja – Project Matematarika
12/11/2015


Foto By: PAMOR DIMENSI IMAGING

Rabu, 01 April 2015

CATATAN: Jadi Seniman itu Mudah???

Catatan ini merupakan sebuah refleksi bagi diri saya sendiri yang pada dasarnya bukan seniman tetapi saya mencintai dunia kesenian. Beberapa tahun terakhir ini, memang saya tidak lepas dari dunia kesenian yang lebih serius. Bukan hanya karena saya bersama mas Ahmad Jalidu menggelar acara yang kami beri tajuk Paradance, tetapi juga karena dari kecil memang saya suka menari walaupun pada saat beranjak dewasa saya memilih pendidikan di luar tari. Tetapi apapun itu cinta memang tidak pernah bohong, karena dia akan kembali pada tempatnya (ehemmm...).

Bermula dari situ, banyak kejadian yang saya alami dan saya lihat. Banyak sekali seniman bagus yang saya jadikan inspirasi, bukan hanya karena menari bagus tetapi lebih kepada konten-konten yang mereka suguhkan. Sampai kadang-kadang saya geleng-geleng kepala, bagaimana mereka bisa mengambil tema tersebut dan mengolahnya sedemikina rupa sehingga keindahannya sampai dan isinya juga tidak terbengkalai. 


Maka, saya pelajari bagaimana proses penciptaan dari banyak orang, baik penari, perupa, seniman teater dan sebagainya. Pada kesimpulan akhirnya saya menemukan sebuah kewajiban bagi para seniman yaitu menjadi ORANG YANG SERBA TAHU. Tapi bukan sekedar sok tahu, seorang seniman harus mempelajari banyak bidang untuk menghasilkan karya seni yang ber-isi. Selain teknik yang harus ditingkatkan, maka pengetahuan umumpun perlu ditambah. Misalnya, creator yang akan menyuguhkan sebuah cerita yang diamblid dari sebuah dongeng misalnya Bawang Merah dan Bawang Putih, mereka harus belajar setidaknya cerita tersebut dari karya sastra, kemudian untuk melengkapinya creator harus belajar mengenai filosofi untuk menambah kedalaman tentang makna-makna dibalik kejadian dalam dongeng tersebut. Masih ada lagi sebenarnya yang mungkin juga merupakan pengetahuan yang penting untuk ditambahkan, yaitu ilmu Biologi, bagaimana sifat Bawang Merah dan Bawang Putih secara biologis, bagaimana mereka hidup, apa persamaan dan perbedaan sifat pertumbuhan dan sifat buahnya. Saya yakin hal ini akan mempengaruhi karakter tokoh yang akan dibawakan, setidaknya menambah referensi. Tidak sekedar Bawang Putih baik dan Bawang Merah jahat. 

Mengapa harus demikian? Tanggung jawab sebagai seniman memang tidak kalah beratnya dengan profesi lain. Seniman merupakan agen hiburan sekaligus agen refleksi. Hal ini sudah terjadi sekian lama, misalnya pada tari Serimpi Kandha yang mengandung sebuah pesan mengenai larangan pernikahan endogami  (perkawinan sedarah). Dari karya tersebut maka jika creator ditanya mengapa membuat karya tersebut dan dari mana mengetahui mengenai tidak baiknya pernikahan endogami bukan hanya dari sisi sopan santun tetapi juga dari sisi kedokteran/ kesehatan, maka creator harus dapat menjawab karena dia yang menyampaikan. Selain ini, misalnya dari cerita bawang merah dan bawang putih di atas, cerita bawang merah dan bawang putih juga banyak menyampaikan pesan kehidupan yang bisa jadi cerminan kehidupan dari salah satu maupun banyak penikmat yang lain, maka selain bertugas menyampaikan sesuai isi cerita yang sudah beredar, kajian ilmiahpun patut disampaikan supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan kesalahan tesis maupun hipotesis dalam interpretasi sebuah cerita.

Dari penjelasan di atas, sudah dapat dilihat, begitu banyak tugas belajar seniman sebelum memulai sebuah karya, maka tidak dipungkiri seniman yang berhasil kebanyakan adalah seniman yang cerdas dan mau belajar serta berwawasan luas selain ditunjang dengan performa yang luar biasa. Ketika akan menggambarkan kehidupan guru, harus belajar menjadi guru, ketika menggambarkan seorang dokter harus menjadi seorang dokter, jadi, masih ada yang mau bilang jadi seniman itu mudah?





Jumat, 12 Desember 2014

PROJECT MATEMATARIKA 2: REFLEKSI

Alhamdulillah, akhirnya karya kedua project matematarika dapat dipentaskan di GLOBAL CULTURE FESTIVAL UNY bersama teman2 dari 30 negara yang lain, dan bersyukurnya lagi kami mendapatkan apresiasi yang positif dari penonton. 

Apa yang kami tampilkan kali ini berasal dari referensi mengenai teori refleksi dalam matematika. Refleksi merupakan suatu transformasi yang secara dasar adalah membalik suatu bentuk tehadap suatu sumbu refleksi (Kanginan & Terzalgi, 2014:     156). Inilah yang menjadi dasar saya sebagi koreografer membuat berbagai ragam gerak dalam tarian ini, selain juga mengadaptasi ragam tari gaya Yogyakarta. Gambar 1 merupakan salah satu ragam dalam karya refleksi ini.
Gambar 1
Tari Refleksi, karya Nia Agustina


Mungkin, banyak sekali penari memasukkan ragam2 di atas pada karyanya. Tetapi mungkin tidak banyak yang menyengaja membuatnya karena terinspirasi oleh teori refleksi dalam matematika. Maka, hal ini pulalah yang membuat saya termotivasi untuk menyelesaikan karya ini, Mungkin untuk dapat lebih jelas melihat dimana refleksinya, maka akan saya berikan gambar berikut.
Gambar 2
Tari Refleksi dalam Bidang Koordinat (Refleksi terhadap sumbu Y)




Gambar di atas merupakan penjelasan bagaimana bentuk refleksi dalam tarian ini, karena titik A, B, C pada titik2 tubuh penari pertama (Caprina Puspita) direfleksikan terhadap sumbu Y sehingga menghasilkan bayangan yaitu titik A', B', dan C' pada tubuh penari kedua (Shelly Ratri).


Seperti itulah penjelasan singkat saya mengenai karya kedua PROJECT MATEMATARIKA, untuk informasi lebih lanjut mengenai grup ini, anda dapat menghubungi saya di nomor 08562571022. Semoga ulasan ini bermanfaat dan menambah inspirasi pembaca sekalian. :)


Judul Tari: Refleksi

Koreografer: Nia Agustina, twitter @paradanceyk
Penari: Nia Agustina, Shelly Ratri, Caprina Puspita, Sabilla Azka

Refensi: 
Kanginan, Marthen & Terzalgi, Yuza. (2014). Matematika untuk SMA-MA/SMK Kelas XI. Bandung: Srikandi Empat Widya Utama.