Senin, 02 Januari 2017

Mau Jadi Penari HP atau Pager?

Di postingan sebelumnya, saya memberi catatan untuk acara JIPA 2016. Dalam acara yang bertajuk "Gathering To Sharing" ini, ada sesi diskusi terkait dokumentasi video dari para koreografer baik dalam negeri maupun luar negeri, juga sesi diskusi terkait showcase yang ditampilkan 4 koreografer muda Yogyakarta. 

Dalam sesi diskusi tersebut ada banyak sekali pertanyaan yang muncul dari para peserta dan bahkan juga koreografer. Ada pertanyaan yang selama beberapa hari ini terngiang di benak saya, dan tanpa sengaja saya menemukan jawabannya di diskusi tari komunitas Salihara yang saya tonton via Youtube kemarin sore. Ya, memang Youtube dan Google adalah guru yang paling mudah diakses saat ini, tentu harus disertai filter yang tepat. Diskusi tari Salihara tersebut mengusung tema Tradisi dan Modernitas, sebagai pembicara ada Bapak Sal Murgiyanto dan F.X Widaryanto, yang keduanya adalah pengamat sekaligus kritikus tari.

Salah satu pertanyaan yang mengganggu teman-teman di forum JIPA 2016 adalah terkait style ketubuhan seorang penari. Saya sempat menyimpulkan, semoga kesimpulan saya ini bukan jenis kesimpulan yang serampangan, bahwa keempat penampil showcase di acara JIPA 2016 memiliki selera berkarya yang tidak jauh dari latar belakang mereka. Galih dengan latar belakangnya sebagai penari gaya Yogyakarta, Gusbang yang dari kecil sudah menari Bali dan memang tinggal disana, kemudian Pulung yang tubuhnya seakan-akan mengikuti gravitasi, bergerak dalam level rendah dan hati-hati, memperlihatkan attitudenya sebagai penari gaya Yogyakarta, serta terakhir Citra Pratiwi yang terkesan metropolis seperti tempatnya lahir dan besar, Jakarta.

Kemudian apa hubungannya dengan diskusi yang saya tonton di Youtube? Ada satu kutipan yang pak Sal ambil dari kata-kata Rendra, bahwa hal baru muncul seharusnya karena yang tradisi tidak cukup menampung kebutuhan kita, maka kebaruan harusnya muncul dari suatu tradisi. Maka, style yang diharapkan oleh teman-teman di forum "Gathering to Sharing" JIPA 2016 lalu sebenarnya sangat bisa dan bahkan justru hanya bisa diperoleh dari mendalami tradisi tubuh dan hidup masing-masing selama ini, menemukan berdasarkan pengalaman empiris dan hal-hal kontekstual yang tidak jauh dari diri sendiri. Hal ini tentu harus disertai dengan pengetahuan dan wawasan di luar tubuh yang dapat dicapai dengan melihat semakin banyak pertunjukan, mengikuti berbagai workshop, dan membaca dan mempelajari berbagai pendekatan dan metode penciptaan tari.

Ini sudah terjadi dalam bidang teknologi, yang dekat dengan kita saja, HP misalnya. Dulu di tahun 90an HP hanya dapat digunakan untuk komunikasi via telfon dan sms, kemudian masuk ke tahun 2000an teknologi HP berkembang, HP menambah fitur kamera, internet, musik, dan sebagainya, tapi apakah fitur telfon dan sms dihilangkan? apakah ringtone HP yang lama dihilangkan? tidak, semuanya hanya diperbaharui dan dikembangakan, karena dirasa telfon dan sms sudah tidak cukup mampu menampung kebutuhan pengguna. Berarti HP dengan teknologi terbaru bahkan masih menyimpan teknologi lama, hanya kemudian dikembangkan dan diperbaharui untuk lebih memudahkan pengguna. Apa jadinya jika HP yang diluncurkan kemudian "benar-benar baru"? Tidak ada fitur telfon dan sms, misalnya? Apakah dia masih dapat disebut HP? Masih ingat dengan pager? Kenapa pager tidak lebih langgeng dibanding HP? Karena tidak ada pengembangan teknologi pager, dia ditinggalkan dan kemudian berganti total teknologinya menjadi HP, dan kenapa HP langgeng? Karena dia tidak meninggalkan "tradisinya" tetapi terus mengembangkan tradisi tersebut menjadi semakin canggih dan memudahkan (Setidaknya sampai saat ini).

Jadi mau jadi Penari HP atau pager?  

Nia Agustina
Manajer Program Paradance Festival
Founder of Project Matematarika
niaparadance@gmail.com





Jumat, 30 Desember 2016

CATATAN JIPA 2016: Jogja Imaginary Performing Arts



2016, JIPA berlangsung dengan format tidak seperti biasanya. JIPA yang sebenarnya merupakan akronim dari Jogja International Performing Arts, bertransformasi menjadi Jogja Imaginary Performing Arts. Mungkin hanya tahun ini saja, atau mungkin akan berlanjut ke tahun-tahun berikutnya? Tidak ada yang tahu.

Berkolaborasi antara Jaran Art Space, Mila Art Dance, Sanggar Seni Kinanti Sekar, Ayu Permata Dance Company, Paradance Festival, Kawung Art Culture and Wisdom serta Galih Puspita Dance Grup, kami mencoba membuat JIPA yang kebetulan berada di penghujung tahun menjadi jawaban atas kebutuhan para kreator dan seniman tari muda di Yogyakarta. Kebutuhan semacam apa? tentu saja kami bisa salah duga. Kami rasa Yogyakarta adalah surganya event tari/ wadah tari, tetapi kering edukasi, terutama bagi para kreator dan seniman tari kontemporer. Banyak seniman muda Jogja yang berkarya di ranah tari kontemporer, tapi dinamika kualitasnya masih sangat lamban. Dengan alasan itu, akhirnya JIPA 2016 memutuskan untuk membuat acara yang formatnya kekeluargaan dan hangat yaitu "Gathering to Sharing" yang sudah terjadi pada 27 dan 28 Desember 2016 lalu.

Gathering to Sharing ini menghadirkan 4 penampil showcase yang kemudian didiskusikan dan diberi masukan (karena keempatnya adalah karya onprogress), kemudian ada sesi menonton dan ngobrol-ngobrol terkait 4 video dokumentasi pertunjukan tari: Cloud Gate-Moon Water, Gumarang Sakti-Karya Boy G Sakti untuk FKY 2003, Tao Dance Theatre - <<6>>, dan Anna Teresa de Keersmaeker - Fase. Sesi diskusi dan ngobrol tersebut sebenarnya tidak semata-mata untuk mencari tahu biografi koreografer dan karyanya (karena tidak ada narasumber di forum ini), tetapi lebih kepada membayangkan prosesnya, kemudian mencari celah kegelisahan sekaligus apa yang bisa dilakukan untuk perkembangan tari kontemporer sesuai kebutuhan forum. Jogja Imaginary Performing Arts (JIPA) 2016 ini mencoba memberi ruang bagi para koreografer muda untuk berimajinasi soal bagaimana selanjutnya dia harus berkarya, meningkatkan kualitas, dan kemudian mampu hidup dan terus berkembang dengan karya-karya tersebut.

Tidak ada solusi yang akhirnya diputuskan oleh forum, karena memang forum ini tidak semata-mata untuk mencari solusi. Tetapi berdasarkan hasil diskusi ada beberapa hal yang kami petakan menjadi kegelisahan terbesar bagi para koreografer muda di Jogja khususnya, yang mungkin kemudian berimbas pada kualitas karya.
1) Entertain VS Art for Art
Yang dimaksud disini adalah, para koreografer muda masih belum merasa cukup bisa fokus dalam karya idealis dengan proses panjang, karena terkait ekonomi. Memiliki latar belakang pendidikan tari, tentu para koreografer muda tersebut memiliki lahan pekerjaan dalam bidang pertunjukan yang sifatnya entertain, ditambah dengan desakan ekonomi yang memang harus terus berputar, para koreografer muda tidak memiliki cukup waktu dan bahkan dana untuk berproses dengan riset artistik yang benar, proses panjang, kemudian dipentaskan atas nama grup pribadi.
2) Continuitas
Ini masih terkait dengan persoalan nomer 1), keadaan tersebut memang kemudian berpengaruh terhadap continuitas latihan dan proses pencarian. Karena memang kondisinya di Indonesia demikian, belum cukup banyak dance grup/ dance company yang mapan secara ekonomi jika tidak ditunjang dengan karya di ranah entertain.
3) Mencapai kualitas untuk Festival
Ini menjadi satu masalah juga yang terlontar dari para koreografer muda dalam forum tersebut. Mengapa tidak banyak koreografer muda di Jogja yang dapat menembus festival tari terutama yang memiliki sistem kuratorial. Ada beberapa hal selain kualitas karya yang kemudian mempengaruhi ini, salah satunya adalah para koreografer muda masih jarang berkarya dalam ranah Art for Art kecuali ketika tugas koreografi di kampus, kemudian tidak banyak koreografer muda yang menyebarkan karyanya dalam bentuk video di youtube atau vimeo misalnya. Hal ini terkait jarak antara Jogja dengan kota-kota yang mengadakan festival kelas satu di Indonesia maupun di luar negeri memang cukup jauh, akan sulit kita ditemukan tanpa berusaha eksis. Salah satu usaha untuk eksis (dalam berkarya) adalah dengan menunjukkan karya-karya kita di berbagai media sosial terutama dalam bentuk dokumentasi video, yang memungkinkan untuk dilihat oleh orang lain dalam jarak jauh.
4) Audience
Kegelisahan soal audience menjadi perbincangan yang cukup menarik dalam forum ini, banyak teman-teman yang risau bagaimana kemudian tari yang berbicara lewat tubuh dapat membuat penonton mengerti tentang apa yang disampaikan.
5) Riset Artistik
Riset artistik menjadi bahasan yang menarik, karena sebagian besar dari koreografer muda memang merasa membutuhkan wacana mengenai hal ini. Banyak yang kemudian mengetahui teorinya, tetapi ketika berpraktek terkkait riset artistik mereka merasa gagap dan tidak menemukan banyak hal. Jadi, workshop soal riset artistik menjadi salah satu kebutuhan yang dilontarkan oleh partisipan dalam forum tersebut.
6) Wacana VS Tekhnik
2 hal ini memang tidak pernah ada habisnya, pertanyaannya kemudian, mengapa 2 hal ini tidak saling melengkapi saja dalam berkarya? Bahkan, tekhnik tari sendiri bisa menjadi wacana tanpa ada isu.
7) Kedalaman karya
Kedalaman karya ini kemudian terkait dengar riset artistik yang tadi telah dijelaskan sebelumnya. Banyak koreografer muda, juga teman-teman yang menjadi penampil showcase merasa punya ide soal karya, tapi ketika karya sudah jadi masih kurang dalam, hanya permukaan saja.

Dari hasil-hasil pemetaan tersebut, mungkin akan ada follow up dengn format lain, yang diharapkan dapat membantu kita menjawab masalah-masalah ini secara kontekstual dan reflektif, berdasarkan pengalaman dan budaya yang sudah terbentuk di lingkungan kita, para koreografer muda khususnya di Yogyakarta.


Nia Agustina
Manajer Program Paradance Festival
Founder of Project Matematarika
niaparadance@gmail.com

Sabtu, 08 Oktober 2016

AYU PERMATASARI’S FEMINISM IN HAH



(Ayu Permatasari)

The sound of breath and sigh heard, even before the dancers entering the stage, brought the audience to seek and wonder: what, who, what is it. A few minutes later, 8 female dancers with white costumes came into the spotlight and dance, still with their audible breaths and sighs exaggerated into expressions of fear/shock, the sound one makes when eating a food that is too spicy, the sound of a mother giving birth, the sound of people marching, etc.  Sound and movement are the show’s strongest attributes, as Ayu Permatasari manages to somehow create a beautiful arrangement out of the seemingly inharmonious sounds coming from the dancers. No dancer was weaker than the other one, as their movements, just as Ayu’s previous works, show great energy, power and shapes that are just as strong.


There is no doubt that Ayu Permatasari is indeed one of the choreographers that possess a strong, hard and disciplined attitudes. Yet, her works are always able to generate a sense of innocence, despite actually having a deeper meaning that relates to her life journey; and HAH is no exception.
When creating HAH, Ayu was inspired by the sound of breath that we hear every day, but more specifically, she was subconsciously inspired by the breath of Kotabumi, Lampung, where she was born and raised as a woman. The main theme of HAH, therefore, is the representation of the story and experience of a woman named Ayu Permatasari, which, in a sense, can be interpreted as Ayu Permatasari’s idea of feminism. Certainly, the feminism theme does not only concern the fact that Ayu is a woman, but talking about feminism means talking about women; which means that Ayu’s feminism concerns very much with her experience as a woman.

Back in her hometown, Ayu was raised by a strict and rough father who “worked” as the local thug. Her memories with her father are sometimes revealed in many of her works, including HAH.  The way she was raised, in addition to the town’s background of being dominated by tough women (according to her), affects Ayu’s thoughts on the different ideas of what it means to be a woman.
The whole work of HAH may seem innocent with the form and combination of movement patterns and sound inspired by breath, but more than that, in each movement, the breath can sound firm, strong, tough, and hard, yet other times it can be subtle, supple, and sexy. These impressions represent the definition of a woman to Ayu. Women can be strong, but at times, they can be soft, supple, and fragile. Their strength, toughness, and vigor do not mean that they want to compete with men; instead, they show willingness to be their own self, to pursue their own desire, without deserting their womanly experience and story.  
Strong into subtle, soft to hard, and supple to tough; all becomes harmony in the body of a woman as portrayed in HAH. It’s not just a breath of air, it’s the breath of women, it’s the breath of Ayu Permatasari’s history, and it is HAH.


Author: Nia Agustina
Translator: Eka Wahyuni 
If you have any information about photographer's name who takes all of picture above, you can contact me at 08562571022 (WA/Line only)