(Sumber foto: www.malesbanget.com)
Tari, sebagai salah satu bagian dari seni pertunjukan juga terkena imbas dari relasi kuasa yang timpang antara penonton dan pencipta tari. Jika dirunut dari perkembangan tari, mengapa angguk putra sekarang sudah sangat sulit ditemukan atau bahkan sudah bisa dianggap punah? Karena penonton lebih memilih menonton perempuan dibandingkan laki-laki. Secara singkat mungkin dapat diartikan bahwa perempuan (secara fisik) memiliki nilai yang lebih menyenangkan untuk ditonton dibanding laki-laki, kenapa?
Tidak hanya angguk, tetapi di banyak kasus pertunjukan tari perempuan memang dinilai memiliki daya tarik yang lebih dibandingkan laki-laki, kenapa?
Bagi saya secara pribadi, sebenarnya ini juga bukan suatu masalah, hanya saja, jangan sampai kita terjebak pada eksploitasi tubuh perempuan, menjadikan perempuan sebagai objek. Katakanlah tayuban misalnya, yang semula merupakan salah satu media untuk memberi pesan-pesan kebaikan, bahkan pesan agama, kemudian terjerumus ke dalam kuasa penonton, dan akhirinya banyak yang memilih untuk menuruti harapan penonton demi tetap berlangsungnya kehidupan grup tersebut dan anggotanya. Kembali, perempuan menjadi korban atas penonton yang memiliki hierarki lebih tinggi,
Kuasa dan hierarki memang sangat lekat dengan maskulinitas. Tapi maskulinitas ini bukan semata-mata terkait soal penonton kebanyakan adalah laki-laki. Karena maskulinitas tidak melekat pada satu jenis kelamin saja. Maskulinitas penonton kadang menjebak koreografer/performer untuk menuruti selera penonton dan lupa pada apa yang ingin disampaikan. Ini akan semakin meningkatkan kuasa penonton sehingga menambah daftar-daftar karya yang sudah cukup dengan menuruti selera pasar, tentu memang ada karya tari yang diciptakan khusus untuk mengikuti selera pasar, masalahnya adalah jika yang terjebak ke arah itu adalah para kreator yang sejatinya ingin berkarya secara idealis.
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa penonton memang tidak bisa dikontrol, tetapi sisi baiknya adalah, kita bisa mengontrol karya kita. Kritik dari para penonton tidak semuanya harus diikuti karena seharusnya dari awal berkarya kreator sudah memiliki tujuan untuk apa nantinya karya tersebut dibuat? Kalau sudah memiliki tujuan berkarya, kita dapat meng-counter ketidaksukaan penonton atas karya kita. Pembuat karya harus memiliki kendali penuh atas karyanya, meskipun tentu saja harus disertai ngobrol dengan banyak orang, meminta pendapat dari yang lebih punya pengetahuan, tapi tetap saja, kemerdekaan memilih adalah milik kreator. Jadi berkaryalah dengan merdeka, tentu harus disertai tanggung jawab.
Nia Agustina
Co-Founder of Paradance Festival
Founder of Project Matematarika