Suhu udara panas khas
daerah pesisir mulai terasa ketika saya memasuki wilayah Pemenang, Lombok
Utara, pertanda perjalanan baru akan dimulai.
Perjalanan ini memang bukan exactly
“sebuah perjalanan”, tetapi residensi dalam rangka Bangsal Manggawe 2017
yang diinisiasi oleh teman-teman Yayasan Pasir Putih. Sebelum bertolak ke
Lombok saya sempat bertemu dengan salah satu kurator, MG Pringgotono. Dalam
diskusi sebelum keberangkatan, saya diberi gambaran soal wilayah dimana tempat
saya tinggal selama residensi dan kemungkinan karya seperti apa yang bisa saya
kerjakan bersama dengan masyarakat. Meskipun gambaran soal residensi dan
kemungkinan karya yang bisa dikerjakan sudah sangat jelas, tetapi saya memilih
mengosongkan gambaran-gambaran tersebut, kenapa? Karena saya percaya bahwa
residensi selalu membawa seorang seniman kepada hal-hal yang totally baru, bahwa residensi adalah
waktu yang tepat bagi seseorang untuk mengasah hati dan pikirannya untuk lebih sensitif
terhadap kebutuhan wilayah residensinya, bahwa residensi adalah waktunya
seorang seniman diuji kerendah hatiannya.
Seminggu pertama saya
berada di dusun Budha Tebango, Pemenang, Lombok Utara (dusun Budha dengan 100%
masyarakat lokal, bukan chinesse), benar-benar saya manfaatkan untuk
berkeliling saja dan berbincang dengan tokoh-tokoh Pemenang. Dari perjalanan
dengan beberapa tokoh tersebut akhirnya saya memutuskan membuat 2 buah karya,
Warung Dongeng dan Tari Mempolong. Warung Dongeng adalah sebuah proyek
penelusuran babad 3 kampung di Pemenang, Karang Kauhan (Kampung Hindu), Karang
Pangsor (Kampung Muslim), dan Tebango (Kampung Buddha). Konon 3 kampung
tersebutlah yang paling memiliki pengaruh terhadap berdirinya Pemenang. Yang kedua,
tari Mempolong (mempolong berarti bersaudara), tari ini diharapkan akan menjadi
salah satu symbol bagi toleransi, persatuan dan kebhinekaan di Pemenang. Ya,
soal karya ini tidak akan saya jelaskan panjang lebar, karena saya sendiri
tidak yakin apakah karya ini benar-benar bermanfaat untuk Pemenang? Apakah
setelah ini mereka akan lebih bersatu setelah mengikuti sesi Warung Dongeng dan
melihat tari Mempolong? Dimana letak fungsi karya dan proses saya dalam
residensi ini? Apakah masyarakat Pemenang memang membutuhkan saya dan karya
saya?
Pertanyaan-pertanyaan
itu juga kemudian yang mengawali refleksi saya atas perjalanan residensi ini. Saya
bertahun-tahun hidup di pusat kota Jogja yang meskipun ramai dan berbudaya
tetapi mulai terkesan individualis, kapitalis, dan hedonis, ditambah setahun
terakhir saya hidup di kompleks perumahan yang menambah insting individualis,
kapitalis, dan hedonis tumbuh dengan sangat baik. Selain berkarya, selama 3
minggu masa residensi, saya mengikuti aktivitas masyarakat Tebango, terutama
ibu residen yang memberi tempat tinggal kepada saya. Sebelum aktivitas berkarya
yang biasanya di sore sampai malam hari, pagi sampai siangnya saya ikut
berbelanja ke pasar, berbelanja ke “warung tetangga” karena di Pemenang tidak
ada minimarket franchise seperti yang
bertebaran di Jogja, memasak, ngobrol dengan ibu dan tetangga, juga ikut
bergotong royong membangun Vihara. Bisa dibayangkan, betapa canggungnya saya
berada dalam kondisi demikian, harus beramah tamah dengan warga masyarakat,
kemudian harus membeli segala sesuatunya di pasar dan “warung tetangga” yang
tidak bisa asal comot barang, bayar, dan ngeloyor pergi tanpa mempedulikan
penjualnya, harus ngobrol dengan warga masyarakat dan makan bersama dengan
mereka selama gotong royong pembangunan VIhara. Beruntung sekali, ibu residen
dan masyarakat Tebango sangat terbuka terhadap orang baru, saya merasa
mendapatkan treatmen untuk mengasah kembali insting sosial, menekan keinginan
hura-hura saya serta melupakan mall, Indomaret, dan Alfamart.
Hal lain, selama 2
tahun belakangan saya ikut tergabung menjadi relawan kesetaraan gender dan anti
kekerasan terhadap perempuan di salah satu LSM di Jogja. Mau tidak mau untuk
menunjang aktivitas tersebut, saya harus belajar soal feminisme dan terjun
langsung menjadi aktivis kesetaraan, juga ikut berjuang membela hak sebagai
perempuan. Terkesan heroik! Memang! Tapi itu semua seperti tidak cukup berarti
ketika saya mulai ngobrol serius dengan ibu residen. Suatu hari sehabis makan,
kami berbincang, ibu residen menanyakan soal pernikahan saya, dan cerita
dimulai. Penasaran juga dengan kehidupan pernikahan ibu residen, saya akhirnya
menagih cerita. Cerita bergulir dan jiwa aktivis saya mulai melempem. Ibu residen sama sekali belum
pernah belajar feminisme dan kesetaraan gender (saya sudah mengkonfirmasi
langsung kepada beliau), tetapi dari prinsip-prinsip hidupnya dia adalah salah
satu sosok perempuan yang menerapkan ilmu feminis dan kesetaraan dengan sangat
baik. Sedikit gambaran, ibu residen adalah seorang ibu rumah tangga biasa,
punya toko kelontong di depan rumah tapi tidak terlalu serius. Dia adalah sosok
yang hampir tidak punya rasa marah, tetapi jiwanya sangat kuat, sampai bapak
residen mengakui bahwa kekuatan di rumah ini berasal dari ibu, bukan bapak. Dia
bukannya tidak mau bekerja di luar rumah, tapi dia memilih secara sadar untuk
menjadi ibu rumah tangga. Dia memiliki statement bahwa ibu adalah sosok terkuat
di dalam rumah, bukan bapak. Ibulah yang menopang keluarga, bukan bapak. Bapak
di dalam rumahnya hanya menopang ekonomi keluarga saja, lebih berat yang mana?
Tanyanya. Dalam terminology kehidupan tidak ada bapak bumi yang ada ibu bumi. maka
yang menopang bumi, yang menopang dunia adalah ibu, bukan bapak. Maka, tidak
perlu menanyakan kesetaraan, kita sebagai perempuan sudah jelas-jelas memiliki
kekuatan yang lebih dibandingkan laki-laki dalam hal ini. Saya kembali
tersadarkan, hampir dalam sebulan sekali saya melakukan fasilitasi soal
kesetaraan gender di salah satu desa di Kulon Progo, Yogyakarta, tapi disana
saya selalu berlaku sebagai orang yang lebih tahu soal kesetaraan dibandingkan
peserta. Hari itu, di suatu dusun kecil Tebango, Pemenang, Lombok Utara, saya
harus mengakui bahwa saya harus belajar lagi dari masyarakat, dan belajar
menjadi rendah hati atas ilmu-ilmu yang sudah saya pelajari di masa lalu.
Belum selesai sampai
disitu. Selama residensi saya sangat membutuhkan bantuan banyak pihak, mencari
berbagai perlengkapan dan pergi kesana kemari. Pada awalnya tidak terbayang
bagaimana saya akan pergi, bagaimana saya mencari perlengkapan untuk karya
saya, dan bagaimana membawa segala sesuatu kesana kemari. Tapi tanpa saya minta
semua orang di sekitar saya tinggal selama residensi, sangat membantu, di sela-sela
kesibukan mereka sekolah dan beberapa bekerja, mereka meluangkan waktu untuk
membantu keperluan saya. Suatu hari saya bertanya, kenapa mereka mau membantu
bahkan ikut menanyakan kebutuhan-kebutuhan saya? Jawabannya beragam, tapi
intinya sama, ajaran Buddha adalah cinta kasih, jadi kita harus mengasihi
siapapun, menolong siapapun, berbuat baik kepada siapapun tanpa memandang dia
berasal darimana. Meskipun saya sendiri sudah tahu sejak lama soal ajaran
Buddha tersebut, tapi yang mengherankan adalah semua orang yang saya temui di
dusun Tebango menerapkan ajaran tersebut dengan sangat baik, saya tidak
melebih-lebihkan, memang semua orang disana sangat penuh cinta kasih kepada
sesama, dari anak kecil hingga orang dewasa, bahkan orang tua. Ibu residen
akhirnya menyempatkan untuk menunjukkan beberapa kutipan kitab yang ditulis di
papan-papan dan di pasang di pepohonan sekitar vihara, beberapa tulisan disana
antara lain: “Pikiran adalah pelopor, pemimpin dan pembentuk dari segala
sesuatu”, “Kebahagiaan mengikuti ucapan, perbuatan, dan pikiran yang baik”, “
Bagai hujan tidak dapat menembus atap rumah baik, nafsu tidak dapat menembus
pikiran yang baik”, “Sesungguhnya mereka yang bertengkar akan binasa, mereka
yang sadar akan mengakhiri pertengkaran”, dan masih ada beberapa lagi yang
tidak sempat saya dokumentasikan. Ajaran-ajaran Buddha seperti beberapa yang
saya tuliskan memang tidak ada yang membicarakan persoalan langit, segalanya
soal cara menghadapi hidup di bumi dengan baik, itulah alasan yang kemudian
membuat umat Buddha lebih mudah menerapkan ajaran Buddha, tidak rumit, semuanya
tentang hidup sehari-hari. Begitupun soal cinta kasih, ibu residen menjelaskan,
ajaran Buddha soal cinta kasih tidak menjanjikan surga, hanya ada petunjuk jika
hidup dengan cinta kasih, maka kehidupan di bumi akan lebih baik. Agama bukan
sekedar jalan menuju surga, tapi agama adalah cara hidup yang baik, agama
apapun, sambung ibu residen. Dari situ entah kenapa saya menjadi lebih
mencintai agama saya, Islam, sembari bertanya-tanya, kenapa kecintaan saya
terhadap Islam justru muncul dari perbincangan saya dengan umat Buddha?
Dari
pengalaman-pengalaman itu, saya merasa karya saya tidak berarti apa-apa, selama
seminggu sepulang saya dari Lombok sampai saya menulis tulisan ini, setiap hari
saya merefleksikan hasil residensi saya. Ternyata sayalah yang mendapat lebih
banyak pelajaran dari masyarakat, sedangkan mereka? Ya, saya lebih butuh
bertemu mereka untuk memperbaiki kehidupan saya, meningkatkan sensitifitas
saya, dan belum tentu mereka butuh bertemu saya dan karya saya, mungkin karya
saya hanya sebuah perayaan, bukan esensi seperti selayaknya yang mereka sudah
berikan kepada saya.