Foto by: @shegitejogja Bagian Pertama, Menggambarkan Kehamilan |
Slide demi
slide pra pertunjukan tayang satu persatu di atas panggung Mother Earth malam
itu. Sambil menunggu penonton yang berjubel di gedung PKKH dapat menikmati
karya foto yang memang digarap khusus untuk project Mother Earth oleh Rio
Paraoh dari Violet Eyes Photography. Sebagai bayangan visual, di bagian
belakang panggung dibentangkan kain sepanjang panggung untuk keperluan proyeksi
visual baik foto, video, maupun video mapping. Seisi panggung dipenuhi dedaunan
berserak. Alih-alih menggunakan satu
level panggung, tim panggung Mother Earth memilih setting panggung yang
terkesan seperti tangga dengan beberapa level.
Pertunjukan
akhirnya dimulai dengan diputarnya video beberapa menit karya Yugo Risfriwan yang tentu diharapkan menggambarkan ide Mother Earth.
Dilanjutkan dua orang performer yang tidak lain adalah Mila Rosinta dan Luise
Najib memasuki panggung. Mereka berjalan perlahan diikuti oleh mapping video
karya Kokoksaja. Mila dari kanan panggung dan Luise dari kiri panggung, sampai
mereka bertemu di tengah dan duduk kemudian menyenandungkan macapat bersama.
Baik Mila dan Luise, keduanya mengenakan bantal di bagian perut sebagai kesan
kehamilan, disusul 4 penari yang masuk ke panggung dengan bentuk perut besar
yang sama.
Luise dan
Mila menari bersama 4 penari lainnya dengan berbagai komposisi dalam beberapa
bagian. Bagian 1, tentang perjuang ibu dari hamil hingga melahirkan. Di beberapa
menit terakhir Luise keluar dari komposisi dan bermain-main dengan looping device di samping panggung.
Suara yang dihasilkan looping device,
menjadi salah satu iringan sampai lantunan piano dari Gardika Gigih masuk
memenuhi ruangan. Bagian 2 menceritakan tentang keegoisan ibu yang
kadang-kadang muncul sebagai bentuk kelelahan dan keinginan untuk mengejar
mimpi yang lebih sulit dikejar ketika memiliki anak. Bagian terakhir adalah
perasaan penyesalan si ibu atas keegoisannya, serta pesan bahwa kasih sayang
ibu akan selalu mengalir. Dan keseluruhan pertunjukan diakhiri dengan apik oleh
lagu Winter Fault yang dinyanyikan
sekaligus diciptakan oleh Luise Najib, diiringi lantunan piano oleh Gardika
Gigih.
Antusiasme
Publik
Malam itu saya
terburu-buru berjalan dari parkiran ke dalam gedung PKKH UGM. Dalam poster yang
tersebar di berbagai media sosial dan massa, pertunjukan Mother Earth seharusnya dimulai pukul 18.30. Namun, saat saya
datang pukul 19.00 antrian di meja tiket masih sangat panjang. Usut punya usut
mereka adalah waiting list yang
menunggu tiket tersisa, atau tiket yang tidak jadi diambil oleh si empunya.
Wah, bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam gedung, jika di meja tiket
saja yang mengantre sebanyak ini. Ternyata benar dugaan saya, ruang penonton
full, bahkan hingga tribun lantai 2.
Fenomena ini menjadi menarik, sementara
pertunjukan tari yang lain biasanya penikmat terbanyaknya adalah sesama seniman
tari, malam itu semua orang dengan berbagai latar belakang tumpah ruwah di
gedung PKKH, bahkan dikabarkan mencapai 1000 penonton ditambah kurang lebih 150
waiting list. Lucunya seusai pentas, beberapa
teman bertanya, bagaimana menurut saya pertunjukan Mother Earth malam ini. Terkait kualitas karya, kelebihan, kritik,
dan lain-lain kita bahas nanti, tentu soal ini kita harus mengendapkan pikiran
dan perasaan-perasaan yang muncul ketika menonton memilah dan memilih serta
menonton referensi yang lain, baru kemudian secara dewasa dapat membicarakannya.
“Namun mau tidak mau, suka tidak suka kita harus berterimakasih kepada
pertunjukan Mother Earth ini,” Jawab
saya kemudian.
Jawaban saya
tentu berdasar, tapi apakah dasar saya kuat, silahkan dicek kembali ya...jangan
terlalu gampang percaya di zaman banyak hoax macam sekarang. Dalam platform
Curator Academy di Singapura, Januari 2018 lalu, saya menemukan hal terkait
pentingnya imajinasi soal publik. Imajinasi soal publik ini tentu dipengaruhi
banyak hal yang spektrumnya sangat luas. Misal ketika saya mendapatkan
kesempatan mengobservasi TPAM (Tokyo Performing Art Meeting di Yokohama),
Februari 2017, ketika ada kesempatan berdiskusi dengan sang Direktur, Hiromi
Maruoka, salah satu yang ditekankan adalah bahwa memang TPAM ini bukan untuk
masyarakat umum. TPAM adalah tempat bertemunya seniman dengan seniman, seniman
dengan kurator, kurator dengan kurator, seniman dengan produser, produser
dengan dramaturg, dan lain-lain. Segmented.
Sehingga pertunjukannya cenderung diskursif.
Sebelum
pertunjukan Mother Earth berlangsung,
saya sempat ngobrol dengan Mila, dan Mila sendiri mengatakan bahwa pertunjukan
ini dipersembahkan untuk para ibu dan supaya orang-orang dapat menghargai
perjuangan ibu. Dalam pernyataan ini tentu tersirat bahwa lebih baik yang
menonton pertunjukan ini publik seluas-luasnya, sehingga pertunjukan ini dapat
menyampaikan pesan kepada sebanyak-banyaknya orang. Dan seperti yang saya
tuliskan sebelumnya memang penontonnya sangat beragam dalam jumlah yang banyak,
sehingga tentu tim produksi yang juga didukung popularitas kolaborator berhasil dalam hal ini. Kemudian, kenapa saya
mengatakan harus berterimakasih kepada pertunjukan ini, karena pertunjukan ini
sudah membantu kita membuka gerbang yang terkunci rapat, bahkan orang mau
mengintip saja sungkan, takut nggak
mudeng, apalagi kalau udah beli tiket tapi nggak mudeng sama pertunjukannya.
Tentu soal hal ini, kita tidak boleh tidak mengakui harus belajar banyak dari
tim Mother Earth.
Tonil Jaman Now
Foto by: @shegitejogja Kendi Sebagai Simbol Rahim |
Melihat
layar putih dibentang di bagian belakang panggung sebagai ruang proyeksi digital art pendukung pertunjukan, saya
tiba-tiba teringat tonil. Dari arsip.tembi.net, tonil pada intinya berupa
lukisan besar latar tempat (keraton, hutan, dll) yang dapat digelar dan
digulung dengan roda/roll yang dapat disusun urutannya sesuai dengan adegan
yang direncanakan. Meskipun dalam pertunjukan Mother Earth kali ini proyeksi digital
art tidak semata-mata sebagai latar tempat, bahkan tidak sama sekali,
karena lebih ke bentuk grafis, simbol, dan interaktif. Namun seharusnya efek
kehadiran digital art sudah
seharusnya mendukung cerita, layaknya tonil yang memberi clue dimanakah dialog ini dilakukan, kemudian memperkuat suasana.
Apakah dalam pertunjukan Mother Earth tidak terjadi demikian?
Saya menjadi
teringat pertunjukan yang pernah saya lihat di kanal youtube sekitar setahun lalu
berjudul HAKANAI yang dikonsep oleh Adrien Mondot (Ilmuwan komputer dan
pesulap) dan Claire Bardaine (Desainer grafis dan digital scenographer) dengan penari solo Akiko Kajihara. Pertunjukan ini
terjadi sekitar tahun 2014, di Montreal. Dalam pertunjukan ini terlihat Akiko
menari bersama digital art dan
begitupun sebaliknya digital art menari
bersama Akiko. Pertunjukan lain yang dikonsep oleh Adrien Mondot dan Claire
Bardaine setelahnya juga demikian, digital
art yang mereka bangun tidak akan berbicara apapun jika penari tidak
bergerak, begitupun sebaliknya, penari yang bergerak tidak akan berbicara
apapun jika digital art dihilangkan.
Foto by @shegitejogja Digital Art Interaktif |
Pada bagian
pertama adegan hamil hingga sebelum melahirkan, jika digital art dihilangkan penonton akan tetap paham bahwa ini adalah
adegan perjuangan ibu hamil dan unsur dramatiknya juga tetap bisa ditangkap,
namun di adegan terakhir, ketika Luise Najib menyanyikan Winter Fault memang interaksi antara digital art dan performer
menjadi hidup begitupun unsur dramatiknya menjadi meningkat. Secara keseluruhan
tentu kolaborasi ini sangat menarik dan cukup baru, khususnya di Jogja,
meskipun seperti yang saya contohkan sebelumnya, pementasan berjudul HAKANAI
pada tahun 2014 sudah menggunakan digital
art.
Karena ini
hal baru, khususnya di Jogja, mungkin di Indonesia pada umumnya, mungkin inilah
kesempatan bagi tim Mother Earth untuk
terus mengeksplorasi kolaborasi antara tari dan digital art ini, sembari melihat sebanyak-banyaknya referensi. Karena
saya dengar project ini tidak hanya akan berhenti sampai pertunjukan tanggal 13
Maret 2018 lalu.
Kolaborasi khas Jogja
Hal lain terkait pertunjukan, saya merasa masih
butuh waktu untuk belajar lebih banyak lagi sehingga tidak tumpang tindih soal
selera yang sangat personal dengan fenomena yang saya hadapi. Juga soal konsep
dan latar belakang karya sudah saya tuliskan sebelumnya di http://gelaran.id/mother-earth/ (monggo
disimak, bagi yang ingin). Jadi untuk yang terakhir saya justru akan lebih
senang untuk menyoroti proses kolaborasi yang terjadi di Mother Earth Project. Mila sendiri mengatakan bahwa semua
kolaborator (Mila Rosinta x Luise najib x Gardika Gigih x Lia Pharaoh x Jenny Subagyo x Manda Baskoro x Yugo Risfriwan x Rio Pharaoh X Kokoksaja) dalam pertunjukan ini adalah sahabatnya atau teman yang pernah bekerja bersama sebelumnya. Mereka sering bertemu,
ngobrol, dan bekerja bersama namun belum pernah berkarya bersama.
Dengan modal
persahabatan ini, Mila berinisiatif supaya pertemanan ini bukan sekedar kesana
kemari bersama, tetapi juga menjadi energi untuk berkarya bersama. Nyatanya,
jika pertunjukan ini tidak menggunakan kesadaran atas pertemanan dan saling
bergotong royong secara organik, berapa banyak materi yang harus dikeluarkan,
misal jika semua dihitung, koreografer, penari, make up artist, desainer
kostum, hair stylist, dokumentasi, visual/digital
artist belum termasuk crew produksi dan stage, termasuk sponsor. Jogja
memang punya kelebihan demikian, masih bisa bertemu banyak orang yang memiliki
passion untuk berkarya tanpa pamrih. Istimewa.
Seperti
dalam Islam kita mengenal nasehat jika ingin soleh ya berkumpullah dengan orang
soleh, ini berlaku dalam semua lini kehidupan, jika ingin terus berkarya ya
berkumpullah dengan orang-orang yang punya keinginan dan passion untuk
berkarya. Untuk apa? Untuk saling menguatkan, menyemangati, mendukung, membantu.
Ya...di Jogja memang masih demikian. Bagaimana dengan kota-kota lain? Saya sendiri
masih belum bisa memastikan sembari menganalisis pelan-pelan.