Koreografer perempuan! Menjadi bahasan setiap waktu, karena dianggap usia mereka pendek, setelah menikah dan punya anak sudah tidak akan berkarya lagi, seandainya masih berkarya tidak akan seproduktif dulu. Ya! Selama konstruksi sosial yang masih menganggap bahwa pekerjaan domestik (mengurus rumah, dapur, anak, suami) adalah pekerjaan perempuan dan pekerjaan publik (mencari nafkah, rapat desa, dsb) adalah milik laki-laki, maka imbasnya koreografer perempuan akan habis dimakan pernikahan. Saya melihat sendiri (di Jogja) perbandingan siswa perempuan di SMKI jurusan tari jauh lebih banyak dibandingkan dengan siswa laki-laki, begitupun di tingkat Universitas, mahasiswa perempuan di UNY jurusan tari dan ISI jurusan tari jauh lebih banyak dibandingkan mahasiswa laki-laki, maka kemana mereka semua? Jika kesadaran akan kesetaraan gender (bukan kesamaan gender) bisa ditumbuhkan maka akan lain ceritanya, sama-sama bertumbuh, sama-sama berkembang, sama-sama memberi kesempatan, juga sama-sama berdikari.
Nah, lalu, apakah usaha yang paling tepat? Ya harus keras kepala dan memerdekakan diri untuk memilih terus berkarya! Dan di Jogja masih banyak koreografer perempuan yang keras kepala, sebutlah Mila Rosinta, Citra Pratiwi, Kinanti Sekar Rahina, sampai detik ini karya mereka masih terus bergulir.
Bagaimana dengan koreografer perempuan yang belum menikah? Apakah jalannya mulus-mulus saja? Tentu tidak juga. Nyatanya dari sekian banyak sarjana seni jurusan tari, hanya beberapa yang masih aktif berkarya setelah masa kelulusannya. Kalo yang ini, bisa jadi soal semangat, bisa juga soal pilihan, tidak bisa dipaksakan.
Dari awal tahun 2017 ini Jogja dibuat cukup bahagia dengan munculnya beberapa koreografer perempuan potensial.
Ayu Permatasari, dari pertengahan tahun lalu, Ayu mulai menunjukkan keseriusannya menjadi seorang koreografer, bersama Ayu Permata Dance Company (APDC) yang didirikannya. Tanggal 19 Mei 2017 menjadi salah satu pembuktiannya, ia bersama APDC melakukan presentasi publik atas karya tunggalnya dengan tema kekerasan seksual (tema yang jauh di luar bayangan Ayu sendiri sebelumnya). Ayu, memulai karya tunggal pertamanya ini (pertama di luar kampus dan di luar event kolektif) dengan serius. Pertengahan tahun 2016 sampai dengan karya on progress ini disuguhkan dalam presentasi publik, Ayu bersama APDC melakukan riset, workshop, ngobrol dan diskusi terkait isu kekerasan seksual sampai pada eksplorasi tubuh, komposisi, artistik Usaha-usaha dan metode berkarya semacam itu mungkin di luar ekspektasi orang-orang yang mengenal Ayu sebelumnya, yah begitupun on progress karyanya dalam presentasi publik, bentuk, komposisi, artistik, semua yang disuguhkan memang di luar zona nyaman Ayu selama ini. Sebagai koreografer dia berhasil mengendalikan dirinya dan egonya. Pada Oktober nanti Ayu bersama APDC akan menggelar karya mengenai kekerasan seksual ini untuk khalayak umum.
Aprilia Wedaringtyas (Aprilia Sripanglaras), dari akhir tahun lalu Aprilia sedang menjalani proyek satu tahun berkarya dengan 2 bulan sekali mempresentasikan hasil pencariannya di Paradance dalam rangka memilih dan memilah kemungkinan untuk proses penciptaan pertunjukan tunggal di tahun depan.Selain itu, pada tanggal 11 Mei lalu, Aprilia juga mempresentasikan karyanya di Pasada Tari #1 (Event yang diinisiasi oleh Kawung Art, Culture, and Wisdom dan Pendhapa Art Space). Dengan latar belakangnya sebagai penari angguk (tari kerakyatan Kulon Progo), Aprilia justru sempat ingin mengasingkan tari angguk dari karya-karyanya, ia merasa bosan dengan angguk. Tapi pada saat yang sama Aprilia akhirnya memilih untuk memaksa dirinya kembali ke angguk, kepada tubuh yang sudah lama ia kenal dan ingin ia tinggalkan. Dalam 2 program yang ia ikuti, yaitu proyek satu tahun berkarya dan Pasada Tari #1, Aprilia memilih angguk sebagai dasar eksplorasinya, dia mulai dari memanggil memori tubuh angguknya, merespon kebosanan tubuhnya pada angguk, sampai mengeksplorasi salah satu ragam angguk yaitu kirig yang mengarah pada seksisme angguk dalam tubuh perempuan, ya, karena angguk pada awalnya memang ditarikan oleh para penari laki-laki, tetapi karena alasan komersial maka sekarang angguk putra justru sudah punah dan berganti menjadi angguk putri. Tahun ini adalah tahun berproses bagi Aprilia.
Fotografer: Cultivootee
Silvia Dewi Marthaningrum, sekitar 1-2 tahun vakum dari dunia penciptaan tari, akhirnya di tahun 2017 ini ia kembali bangun dari tidur panjang. Dengan niat yang besar untuk kembali berkarya, Silvia mendatangi guru dan teman yang dia harapkan dapat membantunya melatih tubuhnya kembali, memberi asupan wacana, dan menemani berbincang untuk membentuk konsep-konsepnya berkarya. Proses tersebut sudah dimulai sejak bulan Maret lalu yang kemudian ia presentasikan secara tunggal dalam tajuk karya LaTari 24 Mei 2017 lalu di Kedai Kebun Forum. Dalam LaTari, dia benar-benar ingin menguji kembali tubuhnya, dan hasilnya well done! Sebagai catatan, Silvia adalah salah satu koreografer dan penari perempuan yang mampu menyerap dan menguasai berbagai teknik ketubuhan tari dengan cepat. Kini ia tengah berproses kembali untuk mempersiapkan presentasi-presentasi berikutnya. Setiap presentasinya nanti diharapkan menjadi catatan perjalanannya kembali menjadi salah satu koreografer perempuan yang patut diperhitungkan.
Terakhir, Scholastica W. Pribadi. Memiliki latar belakang jurusan Pendidikan Tari, sejak sebelum ia lulus kuliah, Tica (panggilan akrabnya) sudah bercita-cita mendedikasikan dirinya untuk menciptakan karya tari bagi anak-anak untuk kepentingan pendidikan. Masa-masa setelah lulus kuliah ia habiskan untuk mendirikan dan mengurus Loka Art studio yang pada awalnya berlokasi di Jalan Kaliurang, Jogja dan sekarang berpindah ke Jl Wonosari, Jogja. Dengan studionya ia aktif mengundang seniman tari untuk mengadakan workshop juga mengundang penari-penari muda untuk berproses dan berkarya. Tahun 2017 ini ia tengah menyiapkan karyanya bertajuk Bird bersama para penari dari Loka Art Studio.
Memang tidak mudah bagi semua koreografer untuk konsisten berkarya, semuanya membutuhkan usaha yang keras dan semangat yang tidak putus.
Memang tidak mudah bagi semua koreografer untuk konsisten berkarya, semuanya membutuhkan usaha yang keras dan semangat yang tidak putus.